Manilkara Kauki, Padamu Kugantungkan Harapan
Sebuah bus merah mendekat. Mata Kauki terlihat berair. Itu adalah
bus milik Dinas Kebudayaan. Bus itu akan membawa para penari yang akan ke
ibukota. Suara rem terdengar berdecit. Bus merah itu telah berhenti tepat di
depan Kauki dan Dipta. Saat itulah, mata Kauki tak lagi bisa berbohong.
Semilir angin bertiup dari utara, sedikit dingin. Aroma perpisahan
kian dekat. Bus yang berhenti itu sudah membuka pintunya, siap mengangkut
penumpang. Dipta melepas pelukannya. Jemarinya dengan lembut mengusap pipi Kauki
yang basah. Senyum merekah di bibirnya.
“Aku tak ingin mengingat airmatamu.” Tangan Dipta masih mengusap
pipi merah Kauki.
Di balik kaca jendela bus
itu, Dipta melambaikan tangan. Ia tersenyum lega. Kauki terus tersenyum di luar
sana meski air matanya tak berhenti meleleh. Senyum itulah semangat dan bekal
terbaik baginya.
Rupanya senyum itu begitu dahsyat. Dipta ingin terus melihat senyum
itu. Dia ingin Kauki bahagia. Karena itu, Dipta selalu semangat. Hingga
akhirnya, seminggu setelahnya, Dipta kembali sebagai juara.
Angin masih berhembus dari utara. Di kala musim belum berubah,
berita bahagia kembali tiba. Dipta diterima di sebuah universitas seni. Ia
mendapat beasiswa setelah menjuarai lomba menari itu.
“Apa kau senang aku akan pergi lagi?” Dipta bertanya dengan kedua
alis hampir bertemu.
Kauki kali ini menatap Dipta yang memandangnya sendu. Tapi Kauki
tersenyum. Sedari tadi, dia bahkan tak terlihat sedih. Kauki menggeleng. Dipta masih
menatapnya dalam. Kauki akan bicara. Bibir Kauki mulai bergerak. Telunjuknya
mengarah ke bawah.
“I-ni, a-da-lah-,”
Kini
kedua telapak tangannya ia satukan.
“Ke-sem-pa-tan,” kedua telapak tangannya membuka seperti pintu.
“Un-tuk,”
Kemudian
tangan Kauki bergerak ke dada Dipta.
“Dip-ta.”
Tangan dan bibir itu terus berbahasa terbata. Dipta menyimak dengan
baik. Hatinya sedikit perih. Dia tahu benar, gadis di depannya itu telah
berbohong. Tapi, dia terus mendengarkan gadis itu.
Dipta tahu, Kauki berat ia tinggal. Gadis itu tak punya banyak
teman. Apalagi kali ini perpisahan itu tak hanya sebentar. Empat tahun lagi
mereka baru bisa bertemu. Empat tahun untuk jarak yang tak dekat. Begitu juga
dengan mimpi Kauki. Dipta tahu Kauki sangat ingin menjadi penari hebat. Dia
juga ingin ikut lomba, menang, belajar menari, semua yang kini Dipta dapat, Dipta
tahu Kauki juga menginginkannya. Mimpi mereka sama. Mimpi-mimpi yang selalu
mewarnai senja mereka di bukit itu, di bawah pohon sawo. Mimpi itu telah
terwujud, tapi hanya untuk Dipta. Sedang Kauki? Gadis itu selalu penuh
perjuangan.
Tetapi Kauki juga tulus merelakannya pergi. Dipta sudah akrab
dengan kebaikan hatinya itu. Lebih baik mimpi itu terwujud, meski hanya untuk Dipta.
Kauki pasti memilih itu daripada mimpi mereka berdua harus tak terwujud. Karena
itu semua, Dipta merasa sesak. Dia selalu ingin mengenggam tangan Kauki. Ia
selalu ingin meraih mimpi itu bersama Kauki, seperti saat mereka merangkaimya berdua.
Namun, Kauki terus mendorongnya untuk mengambil beasiswa itu.
“Sekarang, Dipta yang mendapat kesempatan. Jadi, Dipta tidak boleh
membuangnya.” Tangan Kauki terus berkata.
“Kauki akan belajar lagi. Kauki janji akan menyusul Dipta.” Kini,
gadis itu mengenggam tangan Dipta lalu menatapnya.
“Aku akan baik-baik saja.” Sorot mata itu berkata pada Dipta yang
membalas tatapannya dalam.
“Baiklah, aku akan membawa mimpimu bersamaku.” Dipta telah yakin
pada pilihannya.
Tiga hari setelah itu, Kauki melepas kepergian Dipta untuk kedua
kali. Kepergian yang kali ini akan lebih lama.
***
Kepulan asap muncul dari panci besar. Tiga gulungan mie kuning
masuk dan berenang di air yang berbuih itu. Sebuah sumpit mengacak-acak mie itu
sebentar lalu membiarkan mie itu kembali naik-turun mengikuti gejolak air. Tiga
mangkok putih berjajar rapi di meja samping dandang besar itu. Di dalamnya
telah terdapat cairan-cairan berwarna kekuningan. Irisan-irisan daun sawi hijau
menyusul mie berenang ke panci itu. Tak berapa lama terdengar suara sumpit
beradu dengan mangkok yang menjadi tempat baru bagi mie dan sawi yang baru
diangkat. Dua sendok cincangan ayam berbumbu kecoklatan melengkapi isi mangkok
itu. Selanjutnya, sedikit kuah panas dituangkan. Terakhir, beberapa irisan acar
timun turut ditambahkan.
“Tiga mangkok sudah siap.” Seorang gadis berjalan meninggalkan meja
yang baru saja diisi dua orang muda-mudi setelah mendengar teriakan itu. Dengan
cepat dia sudah sampai di depan meja yang di atasnya telah berjejer tiga
mangkok yang masih mengepulkan asap. Jari telunjuk dan tengah tangan kanannya
berdiri. Ia menggerak-gerakkan tangan kanannya berkali-kali. Seorang pria paruh
baya di depannya tampak mengangguk-angguk.
“Baiklah, segera antar pesanan ini.”
Gadis
itu dengan segera melaksanakan perintah pria bermata sipit itu.
Matahari mulai temaram. Sinar-sinar kemerahan mewarnai langit
barat. Senja telah tiba.
“Bawa tiga botol itu! Tukarkan dua ke kedai Xian. Yang satu, boleh
untukmu.” Gadis di depan lelaki itu tersenyum bahagia. Dengan segera ia
menyelesaikan cuciannya. panci besar itu telah bersih dan siap untuk merebus
gulungan-gulungan mie lagi besok. Pekerjaannya sudah selesai hari ini. Buru-buru
dia menghampiri botol yang sudah menggodanya dari tadi. Senyum tak berhenti
merekah di bibirnya. Akhirnya, ia mendapat satu botol lagi. Itu sangat
menyenangkan. Gadis itu mengambil dan memeluk sebuah botol putih yang masih
terdapat sisa-sisa caos tomat. Hatinya kian gembira saat di samping botol-botol
itu ia menemukan dua helai uang kertas. Satu lembar memang untuk membeli caos.
Satunya? Andai dia belum pulang, gadis itu ingin sekali rasanya berterimakasih
kepada pria Cina yang sangat berbaik hati padanya. Bosnya itu memberi gaji
tambahan hari ini.
Matahari baru saja tenggelam saat gadis itu masuk ke pelataran
sebuah rumah. Rumah itu terlihat masih gelap. Pemiliknya baru saja pulang.
Gadis itu berjalan menuju sebuah pohon yang pada dahan-dahannya bergelantungan
botol-botol bening. Ia menyalakan lampu taman yang tak jauh dari pohon itu. Kemudian
ia duduk di bawahnya. Mengamati botol-botol yang sudah seperti buah. Menggantung
dengan lebat. Hari ini, buah itu akan bertambah. Gadis itu mengeluarkan sebuah
botol dari tas coklatnya.
“Selamat malam, Dipta. Bagaimana kabarmu hari ini? Apakah kau
belajar gerakan baru lagi? Kurasa, pasti kau sudah sangat hebat sekarang. Aku
pasti kalah jauh darimu, dan semakin jauh tertinggal. Iya,kan? Aku bahkan sudah
tidak menari lagi. Aku meninggalkan sanggar Sri Wedari. Sepanjang hari ini, aku
sibuk mengantarkan mangkuk-mangkuk mie. Aku bekerja di kedai Baba Chan lagi. Kau
tahu, karena aku bekerja keras, dia memberiku botol dan tambahan gaji hari ini.
Dia sudah semakin baik hati sekarang. Jadi, kau tak perlu meminta pekerjaan
kepada ayahmu lagi. Ayahku sudah tak bisa melakukan pekerjaan dari ayahmu itu.
Aku sudah bekerja sendiri. Tapi itu memang sudah tidak bisa kamu lakukan. Iya,
cara itu tak bisa lagi. Aku memang harus bekerja. Kau ingat janjiku, kan? Aku
akan menyusulmu. Jadi, aku harus berusaha. Meski tanpa bantuan ayah lagi.
Ah, sudahlah. Ini sudah malam. Aku harus menyalakan lampu rumahku.
Aku belum menyalakannya tadi. Lampu itu harus selalu menyala, agar kamu mudah
mencariku. Aku pasti di rumah itu.
Satu senyum Kauki selalu untuk Dipta.”
Gadis itu menggambar sebuah senyuman di kertas itu.
“Sampai jumpa...” Pungkasnya.
Gadis itu segera menggulung kertas di tangannya lalu memasukkannya
ke dalam botol yang baru ia dapat. Kemudian ia bangun dan menalikan botol itu
di sebuah dahan sawo kecik itu. Ia segera pergi ke rumah di sampingnya. Ia harus
menyalakan lampu. Baginya, hanya itu harapannya. Ia berharap suatu saat, Dipta
akan pulang dan lewat depan rumahnya. Dipta akan melihat lampu rumah Kauki yang
masih menyala. Itu tanda rumah itu masih bertuan, selalu siap menyambut
tamunya.
Kauki, dia telah kehilangan Dipta. Sudah hampir setahun ini Dipta
tak memberi kabar. Tidak telepon, tidak juga surat pos. Tapi Kauki? Dia tak
pernah berhenti. Dia melihat pohon sawo kecik di depan rumahnya. Ia melihat
botol-botol yang dahulu ia gantung dengan Dipta. Karena itu, Kauki setiap hari
menulis surat dan memasukkannya ke botol itu. Kauki ingin suatu saat Dipta akan
tahu, Kauki selalu menunggunya. Meski nanti, ia sudah tak lagi bisa bertemu
dengan Dipta. Kauki rasa, dia harus segera pergi.
Kauki membuka pintu rumahnya. Semuanya masih gelap. Mama pasti
kegelapan, pikirnya. Satu persatu lampu ia nyalakan. Hingga ia tiba di depan
sebuah kamar yang tampak hening.
“Ibu masih tidur?” Tanyanya setelah membuka pintu kamar itu. Suara
gadis itu tidak terlalu jelas, namun seorang wanita yang terbujur di atas
ranjang merespons.
“Belum,” suara wanita itu parau. Ibunya belum tidur. Dia bisa
menyalakan lampu dan bicara sebentar dengannya. Kauki dengan segera memantik
saklar. Seketika ruangan dua kali dua meter itu terang. Itu membuat dua wajah
wanita penuh perjuangan saling bertemu. Yang satu wajah keriput yang pucat
sedang berjuang melawan sakit yang mendera perutnya. Sedang yang kedua, wajah
muda yang kumal dan kelelahan, berjuang mencari penghidupan di usia mudanya.
Kauki membantu wanita di atas ranjang itu untuk duduk.
“Tunggu sebentar, aku akan ambilkan piring dan sendok.” Begitu
maksud tangan Kauki. Wanita itu mengangguk pelan. Dengan segera Kauki beranjak
ke dapur. Ia membawakan sebungkus nasi untuk ibunya tadi.
***
Dua bulan berselang, sebuah mobil terdengar mendekat. Kauki
beranjak dari ranjangnya dan melihat siapa yang datang. Dari jendela kamarnya,
ia tahu sebuah mobil baru saja berhenti di halaman rumahnya. Orang-orang itu
datang lagi. Sudah dua kali mereka berkunjung ke rumahnya.
“Kauki, sudah dua bulan kamu bertahan di rumah ini. Rumah ini....
Kurang baik untuk kesehatan ibumu. Kami akan merawat ibumu dengan baik. Ikutah
dengan kami!” Bujuk seorang wanita berbadan tambun dan berkerudung. Ia terus
meminta pada Kauki. Tangannya sedari tadi memegang jemari Kauki yang bagai
hanya terbungkus kulit. Ia menatap iba pada gadis yang kurus kering itu. Kauki
sakit, bahkan sudah lima hari ia tidak pergi ke kedai Baba Chan.
Setelah menggantungkan botol terakhirnya, Kauki mengelus dahan
rendah pohon sawo itu seperti mengelus seorang kawan yang begitu ia percaya.
Sekarang, memang hanya pohon itu harapannya. Tak akan ada lagi nyala lampu di
rumahnya. Hari itu, Kauki pergi.
“Ibuku sakit, akan lebih baik jika aku ikut dengan orang-orang itu.
Mereka bilang juga akan membantu merawat ibu. Jadi, temui aku di panti sosial
di kota. Aku menunggumu di sana.
Senyum
Kauki masih untuk Dipta.”
***
Tahun demi tahun berlalu. Angin sudah berkali-kali berubah arah.
Semuanya telah berubah.
Seorang pemuda berjalan pelan. Ia masuk ke pelataran sebuah rumah.
Rumah yang tak terawat. Reot dan hampir roboh. Ia memandang rumah itu dengan
tatapan iba. Apa yang sebenarnya telah terjadi di sini? Hatinya dipenuhi tanya.
Pun dengan pohon sawo kecik di depannya. Ia menambah miris rumah
itu. Daun-daunnya berserakan mengotori halaman. Buah-buahnya dibiarkan jatuh
dan terurai di atas tanah. Dahan-dahannya? Terlihat kotor karena dipenuhi
gemelantungan botol-botol berdebu. Botol itu? Pemuda itu baru sadar. Ia rasa,
tak sebanyak itu dulu. Ini membuatnya ingin tahu. Apa mungkin itu suratnya?
Mungkin ia bisa mendapat jawaban dari pertanyaan yang sedari tadi membebal
pikirannya.
Satu botol, dua botol, dia terus membaca. Satu pertanyaan, dua
pertanyaan, perlahan terjawab. botol itu telah berdebu tebal. Tali rafianya
telah memudar. Lampu rumah juga tak lagi menyala. Dia telah benar-benar pergi. Dia
minta ditemui di panti.
Ia menemukan nama Kauki, tapi nama itu sudah pergi sejak tiga tahun
lalu. Dia sudah pergi. Tepat dua hari setelah ibunya meninggal. Ibu Kauki sakit
dan kian parah hari ke hari usai kematian ayahnya. Lalu, sekarang, kemana dia
harus mencarinya lagi? Dipta kehilangan Kauki.
***
Dipta baru saja tiba di tempat itu. Pelataran itu sudah ramai oleh
manusia tetapi empat temannya belum terlihat batang hidungnya. Hari ini ia akan
menonton pertunjukan tari dari seorang penari terkenal. Tariannya selalu
dinanti banyak orang.
Panggung itu masih gelap hingga sorot lampu mengarah ke tengah
dengan tiba-tiba. Seorang wanita dengan dandanan khas Jawa segera menjadi pusat
perhatian. Tangan dan tubuhnya mulai bergerak gemulai mengikuti
lantunan gamelan-gamelan yang mengalun pelan. Semua mata mengarah padanya. Saat
itulah, pertunjukan telah dimulai.
Irama pelan itu telah berhenti, berganti gamelan rancak. Beberapa
penari lain ikut bergabung. Panggung kini kian semarak. Bandung Bondowoso
memimpin pasukannya dengan gagah. Ia hendak melamar Roro Jonggrang yang tadi
telah memukau seluruh penonton. Termasuk Dipta yang benar-benar terpana.
Matanya hanya melihat satu orang saja di sana, Roro Jonggrang.
“Kau bilang, siapa nama penari itu? Kara?” Kawan Dipta mengangguk
tegas. “Aku sepertinya mengenalnya, tapi namanya bukan Kara, dia seperti Kauki.
Iya, Kauki.” Tiba-tiba Dipta begitu yakin bahwa yang sedang ia lihat itu adalah
Kauki. Dipta juga coba menjelaskan namun kawannya hanya bergeming. Temannya itu
terlalu menikmati Bandung Bondowoso yang sedang mengerahkan bala tentaranya
untuk membangun candi. Dipta semakin percaya, Roro Jonggrang di atas panggung
itu adalah Kauki, kekasihnya yang lama ia cari.
“Apa kau yakin nama penari itu Kara?” Dipta masih menanyakan hal
yang sama di akhir pertunjukkan.
“Iya...” Kawannya menjawab kesal, ia geregetan, sudah berapa kali Dipta
menanyakan itu. “Aku sudah lima kali menonton tariannya secara langsung.
Namanya dari dulu Kara, tidak ada yang lain.”
Hanya demi memastikan siapa Roro Jonggrang itu? Dipta pun pergi ke
belakang panggung. Dia akan membuktikan keyakinannya.
“Kara, seseorang memaksa ingin bertemu denganmu.” Seorang wanita
berbaju serba hitam berbisik pada wanita lain yang duduk di depan cermin.
Wanita yang masih memakai baju Jawa lengkap itu menatap kru acara itu dengan
heran. Tak biasanya seseorang memintanya bertemu langsung.
Wanita itu berjalan pelan dan membuka pintu ruang gantinya. Di sana
berdiri seorang lelaki tepat di depan pintu. Begitu mendengar suara pintu
terbuka, ia berbalik. Saat itulah kedua mata mereka bertemu. Kara dan Dipta.
“Kauki???” Dipta terkejut, tak percaya. Wanita itu, Kara, dia juga
terlihat sama, tetapi kenapa ia lebih terlihat tak suka. “Kauki, aku Dipta. Dipta.
Kau mengenalku, kan?” Yakin Dipta. Mungkin saja Kauki pangling padanya. Tapi
sepertinya tidak, Kara langsung berbalik, dia ingin kembali ke ruang gantinya. Dipta
tak mengerti, kenapa dia begitu ingin menghindar?
“Kauki. Manilkara Kauki. Aku yakin itu kau.” Kara berhenti setelah
mendengar apa yang diucapkan Dipta. Dia hanya menoleh, matanya tajam mengarah
pada Dipta. Wajahnya kian geram. Tapi Kara sungguh tak ingin melayani lelaki keras
kepala itu, kenapa dia terus memanggilnya dengan nama lain? Bukankah semua
orang sudah mengenal namanya, tapi dia memanggil seorang penari terkenal dengan
nama orang lain. Kara tak ingin berlama-lama. Ia segera berbalik menuju ruang
gantinya.
“Kara, katakan kau bukan Kauki!” Suara Dipta memecah hening lorong
itu. Kara mendengar dengan jelas apa yang baru saja dikatakan Dipta. Sekali
lagi, Dipta membuatnya harus berhenti. Dipta sudah menyebutkan kata kuncinya.
Bila wanita di depannya itu Kara, ia pasti bisa mengatakannya. Tapi, Kara nyatanya
tak memberi jawaban, sepertinya ia tidak peduli dan dia berjalan lagi.
Dipta masih tidak bisa menerima sikap acuh penari tadi. Baginya,
dia adalah Kauki. Dia akan menunggu lagi. Kali ini benar-benar memaksanya untuk
berbicara. Hal yang begitu sulit dilakukan Kauki.
Dipta masih duduk saja di anak tangga itu. Sedang di atasnya, mendung
sudah semakin tebal menggelayut di langit. Sudah hampir dua jam dia di sana. Hingga
akhirnya, hujan benar-benar turun. Sekelompok pemuda dan pemudi keluar dari
gedung itu. Itu rombongan para penari tadi. Para prajurit Bandung Bondowoso, beberapa
dayang Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso, dan yang terakhir, Roro Jonggrang.
“Kara, tunggu sebentar!” Dipta menerobos para penari itu demi
mendekat pada Kara yang sudah bersiap menyeberangi hujan dengan seorang
kawannya. Tapi, Kara hanya menoleh sebentar. Dia sudah hafal yang datang itu
adalah Dipta lagi. Laki-laki yang sudah menggangggunya dari tadi. Maka, dengan
begitu saja, dia segera berlalu.
“Kara, Kauki, terserah kau ingin dipanggil siapa. Aku yakin kalian
sama.” Dipta berteriak, membuat beberapa penari yang masih menyiapkan payungnya
terkejut. Pun dengan beberapa penari lain yang sudah berjalan menuju bus yang
terparkir tak jauh dari teras gedung itu. Semua mendengar teriakan itu,
termasuk Kara sendiri.
“Kara, sepertinya dia mengenalmu. Sedari tadi dia memanggilmu. Apa
kau tak mengenalnya?” Seorang penari yang sepayung dengan Kara bertanya. Sedang
Kara hanya menggeleng.
“Kauki...” Dipta menarik tangan Kara, memaksanya berbalik
menghadapnya hingga Kara dan temannya terkejut. Kara mencoba berontak, tapi
pegangan Dipta terlalu kuat.
“Dengar, aku tahu kamu marah. Tapi sungguh, aku sangat menyesal
sudah tidak menghubungimu. Aku menyesal sudah bertindak bodoh. Aku hanya ingin
konsentrasi dulu, tapi aku tak sadar kalau akan jadi begini. Sungguh, aku
sangat menyesal.” Kara sedikit tenang, tapi ia masih mencoba lepas dari
cengkraman tangan Dipta.
“Aku hanya ingin kamu tahu alasanku. Itu saja. Jika kamu nanti
tetap memilih pergi, setidaknya aku sudah mengatakan alasanku.” Genggaman Dipta
tak lagi kencang, saat itulah Kara berhasil lepas. Dengan cepat dia berlari
menuju kawannya yang menunggunya.
“Kara, kau tak apa-apa?” Teman Kara memastikan. Dia sangat
khawatir. Dipta terlihat sangat kasar pada Kara. Tapi Kara mengangguk, memastikan
dia baik-baik saja.
Semua penari sudah masuk ke dalam bus biru itu. Pintunya segera
tertutup setelah penari terakhir masuk. Sementara Dipta masih di tempatnya. Ia
menghadap bus itu memelas. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi
hari ini. Apakah cintanya akan berakhir begitu saja? Dengan cara seperti ini?
Mesin bus itu mulai terdengar. Lalu, ketika bus itu mulai bergerak,
Dipta sadar. Dia tidak bisa kehilangan Kauki. Dia harus mengejarnya. Tapi, bus
itu telalu kencang, kecepatan kakinya tak sebanding dengan laju mesin kendaraan
itu. Bus semakin tak terkejar, dan menghilang. Cintanya memang harus dilepaskan.
Tapi di antara deru hujan yang menhujam tanah itu, Dipta mendengar
tapak sepatu yang beradu dengan aspal jalan yang keras. Suara itu kian dekat. Dipta
berbalik, dan mendapati Kara berlari di depan sana. Kara. Bukan, Kauki, dia
kembali. Kauki begitu saja menghambur ke tubuh Dipta yang terpaku. Ia memeluk Dipta
dengan nafas tersengal. Dipta mengangkat wajah Kauki yang ia sembunyikan di
dada Dipta. Di antara bulir air yang menghujani wajah ayu Kauki, Dipta bisa
melihat jelas airmata yang mengalir dari mata indah kekasihnya itu.
“Ma-af-kan a-ku....” Bibir basah itu bergerak terbata. Mata berkaca
Dipta tahu benar apa yang dikatakan wanita di depannya ini. Kauki tidak pernah
bisa mengatakan sebesar apa cintanya, tapi dia selalu bisa menunjukkannya. Seperti
apapun, dia mencoba menghindar, bahkan sampai mengganti identitasnya. Tapi,
hatinya tak bisa berbohong, ia tak tergantikan.
Di tengah rinai hujan itu, Kauki masih kembali ke dalam pelukan Dipta.
Comments
Post a Comment