Pengarep


Kelasku baru saja selesai. Sesaat setelah dosenku mengucapkan salam, aku langsung meninggalkan ruang itu. Kalau saja tidak karena diancam harus berhenti sekolah, mungkin hari ini aku tak kuliah lagi. Ada hal penting sore ini. Hal yang selalu kunanti setiap tahun. Juga yang selalu kupersiapkan setiap kedatangannya.
Hanya butuh beberapa detik aku sampai di depan sebuah vespa biru. Kuambil helmku dan bersiap memakainya. Tapi, ah... Kepalaku gatal sekali. Setelah garuk-garuk kupakai helmku. Aku tak punya banyak waktu. Vespa tua itu segera kugeber. Menuju tempat yang sedari tadi menghantuiku di kelas.
***
Petikan-petikan gitar sudah terdengar dari luar. Usai kuparkir motor kesayanganku, aku langsung masuk. Sekali lagi, waktuku tak banyak. Terakhir Bimo mengabariku sudah grup kelimapuluh tiga yang tampil. Begitu sampai di dalam. Bimo dan Aryo sudah di atas panggung, siap dengan gitar masing-masing. Tanpa pikir panjang, segera kusandang gitar dan berdiri di depan mikrofon. Tak berapa lama, alunan akustik kumulai.
Sesuai yang kuharapkan. Begitu kusudahi laguku, seisi auditorium dipenuhi tepukan. Tiga dari empat juri bahkan sampai berdiri. Bimo menepuk pundakku. Dia bilang, belum satu pun peserta mendapat sambutan semeriah ini. Aku manggut-manggut. Senyum tak hentinya lepas dari wajahku yang sumringah. Kurasa, perjuanganku tak sia-sia kali ini.
***
Deru mesin vespaku memecah malam di gang sepi. Dengan kecepatan sedang, kunikmati kesunyian ini. Hingga aku sampai di depan sebuah rumah berpagar coklat. Kubelokkan stang motorku dan mulai masuk ke pelatarannya yang tak terlalu luas. Baru saja aku turun, deru motor lain terdengar. Hampir seluruh sudut halaman rumah ini terkena sorot lampunya. Pun dengan aku yang tepat di depannya. Aku bahkan sampai harus memicingkan mata demi melindungi silau. Dari suara motornya, aku sudah tahu siapa yang baru saja datang.
“Kamu pulang malam lagi, Rep?” Aku kalah cepat menyapanya. Dia bahkan memberiku senyuman yang sama sekali tak berubah. Meski dengan apa yang sudah terjadi. Terutama dua tahun terakhir ini.
***
Mbak Ningsih mengantarkan dua gelas teh ke ruang tamu. Lalu segera kembali ke dapur. Membereskan sisa dagangan bakso hari ini.
“Gimana dagangnya, Pak?” Sekedar basa-basi aku bertanya. Aku sudah melihat gerobak di atas motornya yang kosong.
“Alhamdulillah. Lancar.” Jawabnya setelah menyeruput teh yang masih mengepulkan asap tipis. “Lha kamu, gimana kuliahnya?”
Deg. Ada rasa bersalah menyelinap ke hatiku. Bagaimana aku kuliah selama ini?
“Kamu jadi ikut lomba itu?” Kurasa dia sengaja mengalihkan pembicaraan. Aku tahu betul, aku tak perlu menjawab pertanyaannya yang pertama.
“Jadi.”
“Menang?”                                          
“Enggak. Juara dua.”
“Alhamdulillah. Ya, baguslah kalau begitu..”
Kami berdua kembali saling diam. Menikmati teh masing-masing. Jujur, aku sedang tak ingin membahas hal ini.
“Aku jadi ingat waktu kamu lahir dulu.” Wajah ramah itu sekali lagi menyapaku. Sekali lagi juga, aku melihat gurat lelah di wajahnya.
“Dulu orang tuamu sangat ingin punya anak laki-laki.” Iya, empat kakakku memang perempuan semua. “Saat kamu lahir, bapakmu senang bukan main.” Pria paruh baya di depanku kini tersenyum lebih lebar.
“Karena itu, kamu diberi nama Yoga Pengarep. Anak yang diharapkan orang tua.” Sejenak ia diam. “Kamu ini harapan bapak ibumu. Mereka punya harapan yang besar padamu. Sekarang kamu punya bakat. Bisa main musik. Seriusi itu. Pak Lik senang, kamu bisa juara.” Lanjutnya.
“Pak Lik enggak ngelarang kamu main musik sama Bimo, sama Aryo. Pak Lik juga tahu kamu sudah mulai bosan sama kuliahmu. Tapi Pak Lik harap, kamu selesaikan dululah S1-mu ini. Kurang satu semester lagi, kan? Pak Lik percaya kamu bisa. Semangat lagi ya, Rep.” Sekali lagi, aku melihat gurat kelelahan di balik senyum hangat yang terkembang di depanku ini. Aku hanya bisa menunduk. Kepalaku jadi berat.
“Ah, ayo cepat istirahat. Sudah malam.” Pak Lik beranjak dari kursi setelah menyeruput tegukan terakhirnya. Gelasnya sudah kosong. Kupersilahkan beliau beranjak. Aku masih belum ingin tidur.
Dari tempatku duduk, kuamati pria itu. Pak Lik sudah tak lagi muda. Dari usia dua tahun sampai saat ini, perhatiannya padaku tidak berubah. Dia sambungan tangan ibu bapakku yang hanya kurasakan kasihnya setahun saja. Aku masih terlalu kecil untuk mengingat bagaimana belaian keduanya. Pun dengan mereka yang sudah tua sewaktu aku lahir. Sungguh, aku bersyukur telah mendapat ganti yang sama baiknya. Tapi, bukannya syukur itu tak hanya sekedar ucapan? Kalau begitu, sudah bersyukur kah aku?
Sebab kepalaku yang kian terasa berat, kuputuskan menuju kamar. Hari ini sungguh melelahkan. Baru hendak membuka pintu kamar, kepalaku gatal lagi. Ah, entah berapa lama aku belum keramas? Gara-gara terlalu giat berlatih bersama Aryo dan Bimo, aku sampai lupa merawat diriku sendiri. Dan ternyata, yang didapat tak sesuai dengan harapan. Padahal sudah kutunggui acaranya hingga larut malam. Telah kurelakan beberapa jam kuliahku demi latihan. Tapi? Tiga kali ikut kejuaraan akustik ini, tiga kali juga aku berakhir sebagai runner up.
Seperti ini kah rasanya kecewa karena harapan? Lalu, bagaimana denganku? Si anak yang diharapkan orang tua. Tidak, kurasa Pak Lik juga banyak berharap padaku. Apakah hanya karena tiga kali gagal aku langsung menyerah? Bukankah Pak Lik bahkan membelikanku gitar yang kini tergeletak di atas kasurku itu? Pun dengan kuliahku yang amburadul. Bukannya dulu, aku sendiri yang meminta dikuliahkan? Iya, aku ajukan permintaan itu kepada Pak Lik. Lalu sekarang? Harapan apa yang telah kuterbitkan? Tegakah aku bila Pak Likku yang sudah berjuang dengan ikhlas merasakan kekecewaan menyesakkan ini?

Comments

Popular posts from this blog

Candi Tegowangi: Pesona Majapahit yang Tertinggal di Kediri

Wisata Sejarah Candi Surowono Kediri

Bangkitnya Pesona Lawang Sewu