Besi Tua yang Berjasa


Trung...tung...tung...tung...tung.... Si truntung memekik keras ketika Mas Huda menginjak pedalnya. Ban-ban lusuhnya mulai berputar, melindas kerikil-kerikil dan tanah kering yang menambah buram rupanya. Mas Huda membanting setir bulatnya yang sama tak bersinarnya tanpa kesulitan. Lalu, dalam sekejap si truntung sudah berada di aspal dan menghadap jalan lurus yang segera disusurinya dengan mulus. Dret...det...det..det.... Meski beberapa kali sempat terkentut-kentut di perjalanannya. Namun Mas Huda, tetap menggeber si truntung seperti tanpa masalah.

Rupa klasik truntung selalu menjadi perhatian. Terlebih, suaranya yang mirip teriakan nenek-nenek yang kejepit pagar itu mampu menyaingi suara knalpot brong sekalipun. Walhasil, hampir setiap orang yang lewat bakal memandangi si truntung, termasuk menilik kami yang ada di balik jendela kaca beningnya. Siapa pula yang masih tega meminta pak tua ini mengangkut beban, berjalan di jalanan kota yang sesak dan panas? Pasti begitu pikir mereka. Tapi kami, para penumpang tak pernah gentar dengan tatapan dan senyum sarkas itu. Apalagi sopirnya, pawang si truntung yang tak lain dan tak bukan adalah Mas Huda, ia selalu melambaikan tangan sambil tersenyum ketika seseorang yang lama mengamati truntung kesayangannya di lampu merah.

Si truntung ini bahkan sudah seperti Herby yang sanggup diajak beradu kecepatan dengan mobil keluaran terbaru yang konon lebih prima. Siang itu, entah berapa kali Mas Huda memamerkan skill mobilnya. Mas Huda sudah sering membuat mobil-mobil mengilap di jalanan kota merasakan asap mobil uzurnya itu. Bahkan di tengah jalan perbukitan yang berkelok-kelok dan sempit sekalipun, Mas Huda tetap berani menggeber si truntung. Siang ini, ia berhasil menahan laju sebuah Terios putih di belakangnya. 

“Hayo, wani nyalip po gak?”  Seru Mas Huda menantang. Ia girang sebab berkali-kali Terios itu hanya bisa mengintip namun urung menyalip. 
Kemudian, dengan kecepatan yang tak jauh beda, Mas Huda membanting stir ke kanan. Sreeet.... Si truntung menikung tajam layaknya rider-rider di lintasan balap. Aku yang ada di sisi kanan pun sampai ikut miring ke kanan dan terdesak oleh Gilang yang duduk di sebelahku. Sepupuku itu begitu menikmati adu balap ini, ia bahkan ikut membelokkan badannya dengan total. Sementara itu, Mbak Ina yang duduk di kursi depan sudah berulang kali nyebut gara-gara ulah suaminya itu. Sementara Mas Huda tertawa senang sebab telah berhasil membuat mbakku itu ketakutan. 

Belum selesai takut luput dari wajah kami, kami dibikin histeris kembali ketika truntung ini menaiki tanjakan yang tak begitu tinggi lalu turun untuk kembali menjumpai sebuah kelokan. Tung...tung...tung...tung.... Truntung ini terus melaju gesit sedang si mobil mengilap masih setia di posisinya. Kemudian, ketika jalan sudah cukup stabil, lurus, tanpa kelokan, si Terios akhirnya berhasil mengasapi truntung kami dengan satu desahan halusnya. Wessss.... Tak ada desingan apapun, kecuali suara angin yang ditebas body mulus Terios itu dengan kecepatan tinggi. Lalu, kami utamanya Mas Huda tertawa puas telah berhasil memperdaya mobil bagus itu. Ya, andai saja jalan ini lurus-lurus saja, bukan perkara sulit bagi mobil bagus itu melibas truntung kami. Hanya karena jalan cukup sempit dan berkelok, ia memilih menunggu momen.

Tepat lima menit lepas dari pukul lima belas, setelah menempuh 36 kilo dengan durasi dua jam kurang empat menit, kami berhasil menambatkan truntung kami di pasir putih Tambakrejo. Begitu turun, Mas Huda mengambil ponselnya dan menghadap pada mobil kebanggaannya itu. 

“Ini harus diabadikan. Traveling.” Katanya sambil menjepret proyeksi gambar si truntung di layar Politronnya. Ya, meski tampak menyedihkan namun si tua bertubuh kecil itu telah berhasil mengantar kami berlibur tahun baru hingga pesisir selatan Jawa. 

Menjelang Maghrib, saat matahari telah menyisakan setitik cahaya keemasan di balik bukit karang, kami beranjak dari pantai itu. Trung...tung...tung...tung...tung.... Si truntung keluar dari pasir dan kembali menapaki aspal hitam yang kasar. Tanpa keluhan apapun, si tua itu berjalan untuk menempuh jarak puluhan kilo lagi. Hingga tiba-tiba.... Gladak, gladak, gladak.... Laju si tua ini terantuk-antuk. Apa jalan ini terlalu tidak rata hingga kerasnya aspal jalanan jadi begitu terasa?

“Ban bocor....” Seru Mas Huda seperti sudah tahu apa yang terjadi. Setelah itu, kami semua turun demi memastikan hal itu. Dan benar saja, sang pawang memang tak pernah salah. Ban belakang si truntung yang sebelah kanan telah terkulai lemas, dan itu membuat badan truntung tak lagi berdiri tegap. Mas Huda pun mengeluarkan sebuah ban mungil yang sengaja kami bawa sebagai cadangan. Lalu, ketika tubuh si truntung terdongkrak, azan Maghrib telah terdengar, matahari sudah tak terlihat lagi di langit, hanya menyisakan semburat mega yang jadi nuansa di langit yang mulai mengelam. Dan saat azan tak lagi terdengar, roda si truntung kembali berputar, membawa kami meninggalkan kawasan pantai itu.

***

Sekitar satu bulan lalu, aku baru tiba di rumah. Seperti biasa, aku menaruh tasku yang berisi beberapa helai pakaian, buku, dan laptop di kursi ruang tamu. Di dekat kursi itu, terdapat jendela yang darinya bisa kulihat pemandangan luar. Lalu, saat aku melongok keluar, dari balik jendela itu kudapati dua buah mobil terparkir di samping rumahku. Sebuah sedan tua, dan Minicab abu-abu yang catnya telah kusam serta mulai mengelupas hingga menampakkan badannya yang telah berkarat. Sedang banyak rupanya kerjaan iparku itu. 

Ya, awalnya memang kukira begitu. Sudah sering Mas Huda membawa mobil yang sedang diperbaikinya ke rumah. Untuk dicoba katanya, sudah enak apa belum dikendarai. Bila belum, maka akan ia servis lagi bagian mana yang dirasa kurang. Beberapa kali, tetangga kami juga meminta Mas Huda untuk memperbaiki mobil mereka. Salah satunya mobil sedan itu, mobil itu milik tetangga Mas Rahim, suami Mbak Nisa, yang pernah dipakai untuk menjemputku di stasiun. Sedang si Minicab menyedihkan itu, mungkin milik paman Mas Huda yang memang hobi mengoleksi mobil antik. Dia mungkin sedang dalam masa percobaan. Waktu lebaran kemarin, Mas Huda sempat membawa salah satu mobil pamannya itu, Minicab juga, berwarna coklat mengilap. Tapi siapa sangka, Minicab abu-abu yang kini terparkir di bawah pohon mangga manalagi itu milik Mas Huda sendiri.

“Nanti kalau sudah punya uang, dicat ulang.” Kata Mbak Ina. Masih dari mbakku, kuketahui mobil antik itu tak sampai tujuh juta harganya. 
“Murah men....”  Aku terkejut. “Hampir setengah harga sebuah motor?”

Tapi, nyatanya, Minicab itu tak serapuh tampilannya, jauh dari itu, performanya begitu menter kalau kata orang Jawa. Setiap pagi ia bisa mengantar mbakku pergi ke pasar, membawa Mas Huda pulang untuk bekerja di bengkelnya, membawaku jalan-jalan di kota, juga merayakan tahun baru di Simpang Lima. Bahkan ia mampu naik gunung lalu turun hingga ke pesisir. Kurasa, selama tiga minggu di rumah, Minicab itu telah banyak mengantarku kemana-mana. 

Lalu, saat ini, ketika aku sudah tak di rumah lagi, mobil itu juga kembali jadi ibu peri. Ia menjadi lantaran sehingga mbakku bisa menyambangiku kemarin. Saat itulah aku sadar, betapa tuanya kereta besi itu. Sewaktu hendak menyeberangi jalanan ramai di depan pondokku, kulihat betapa cat abu kusamnya telah terkelupas semakin parah. Kurasa, tak sebanyak itu kemarin. Kini, hampir seluruh cat di sisi kiri Minicab itu telah hilang, hanya menyisakan cat kusam di sisi kanan. Maka, tampaklah besi yang berwarna kecoklatan. Menandakan usianya yang memang tak lagi muda. 

Usai menyeberangi jalan penghubung Kediri-Blitar itu, mobil usang itu telah sampai di hadapanku. Mbak Ina yang selalu duduk di samping Mas Huda tepat berada di depanku. Lalu di sampingnya, ada Isna yang berdiri di atas jok di antara Mbak Ina dan Mas Huda. Lah, dia ikut rupanya. Dan setelah kutengok ke dalam, ternyata tak hanya Isna yang ikut, tapi juga Ihya, yang sama riangnya dengan Isna. Bocah itu mengunyah ote-ote  dengan nikmatnya. Sedang di kursi belakang, kutemukan Hamdan, kakak si kembar yang sama asyiknya makan gorengan. Mereka semua ikut rupanya. 

Acara sambang itu singkat saja, setelah kuserahkan buku-buku yang hendak jadi bahan skripsi Mbak Ina lalu mereka memberiku sekantung gorengan yang masih hangat, keluarga kecilku itu pamit. Mereka bahkan tak keluar dari mobilnya sama sekali, sebab memang saat itu hampir Maghrib dan gerbang pondok akan segera dikunci. Brum.... Mas Huda menyalakan mesin Minicab tuanya. Tak begitu lama, suara yang rasanya amat kurindukan kembali terdengar di telingaku. Trung...tung...tung...tung.... Ah, mobil butut itu, tak salah kalau kami menjulukinya si truntung. Ban-ban mungil truntung mulai bergerak. Baru setelah pantat bundek  Minicab itu sudah cukup jauh, aku masuk kembali ke dalam pondok.

Baru saja berjumpa dengan si truntung membuatku teringat masa lalu. Dulu, sekitar enam atau tujuh tahun lalu, keluarga kami juga pernah memiliki truntung yang sama. Sebuah mobil Minicab yang entah keluaran tahun berapa, milik pamanku yang tinggal di Malang. Berwarna putih, dengan garis merah dan biru. Agak beda dari truntung yang kami miliki sekarang, ia jauh lebih terawat. Catnya masih lebih cerah dari truntung Mas Huda. Maklum saja, Mas Huda baru membelinya akhir tahun kemarin dan entah jadi tangan ke berapa. Sementara pamanku, mungkin mendapat mobilnya akhir tahun 90-an, yang mungkin masih tangan yang bisa dijangkau dengan hitungan jari. 

Aku masih ingat, sewaktu aku masih kecil, aku pernah melihat album-album foto di rumah nenek. Isinya adalah gambar-gambar lama, dengan style orang-orang di dalamnya yang terkesan senada. Setiap momen diabadikan dalam satu album. Saat plesiran keluarga ke Bali, ke Jogja, ke Tegal, acara nikahan bibiku, acara haul keluarga, saat nenekku naik haji, hingga potret polosnya masa kecil para cucu nenek, semuanya ada. Termasuk, mobil putih paman itu. Mobil itu sempat beberapa kali ikut terjepret saat keluarga kami berfoto bersama. Dari saat kakakku masih setinggi ban mobil mungilnya hingga mampu menyentuh atap mobil itu dengan mudah. Dari aku yang masih di alam rahim sampai aku hampir lulus MI. Dari warnanya yang masih putih polos dengan aksen garis-garis di bagian tengah hingga sudah memiliki warna merah di bagian bawahnya. Sudah terbayang betapa lamanya, mobil itu menemani kami. 

Meski tak selonggar Avansa, tak segagah Fortuner, dan tak secantik Brio, truntung ini telah menggendong kami kemana-mana. Pun dengan seluruh anggota keluarga kami yang semuanya mampu terangkut. Bahkan dulu, kedatangan Paman waktu lebaran selalu kami nanti. Setiap lebaran, semua pasti akan diboyong, berkunjung ke saudara-saudara di desa sebelah. Dari paman-paman, bulek-bulek, sepupu-sepupu, hingga kakak-kakakku, hampir pasti seluruhnya ikut. Karena itu, sebelum berangkat, kami akan mengantre, menunggu giliran masuk. 

“Ayo, yang kecil-kecil duluan!” Begitu Bulik sering mengomando. Yang ia maksud adalah para anak-anak macam aku dengan para kakak dan sepupuku.

Bangku belakangnya yang agak panjang sudah pasti jadi tempat para anak kecil yang memang banyak jumlahnya. Lalu bagian tengah, akan diduduki orang yang lebih besar, emak, bapak, para paman, serta para bulik. Orang-orang ini yang biasanya mengalah untuk tidak ikut rombongan. Atau bila tidak, beberapa di antara mereka akan mengalah dan rela duduk dengan para anak kecil di belakang sambil memangku salah satu dari pasukan bangku belakang. Dari para pasukan itu, aku menjadi yang paling sering dipangku sebab memang paling kecil di antara kakak dan sepupuku. Dan yang paling kerap menyediakan pahanya untuk jadi kursiku adalah Pak Im. Lalu, di depan sendiri, adalah tempat yang terlonggar. Selalu jadi singgasana sang pemilik mobil, Pak Ji dan Bulek Is. Kadang kala, salah satu anak Pak Ji akan ikut duduk di depan sehingga cukup melonggarkan bangku belakang. 

Trun...tun...tun...tun.... Dengan suara khasnya, siapapun yang mendengar ini pasti tahu bahwa rombongan keluarga kami telah datang. Suara itu juga yang pasti menemani Pak Ji saat harus terus menjalankan mobil ini ketika semua sedang tidur dan melintasi Alas Roban maupun jalanan Pantura saat malam. Suara ini pula yang kerap mengundang mata untuk memandang saat kami lewat. Begitu pun dengan para tetanggaku, yang ketika mendengar suara ini akan langsung mafhum bahwa pamanku yang lama tinggal di Malang itu telah pulang. Karena itu juga, akhirnya mereka menjuluki Minicab putih itu dengan sebutan Truntung. Julukan ini pula yang menginspirasiku untuk Minicab tua Mas Huda.

Hingga sekitar tahun 2009-an, saat Pak Ji memboyong kami ke Lamongan, bermain di WBL. Betapa terkejutnya aku, ketika emak yang baru dari rumah nenek pulang dengan bungkusan berisi tahu dan kue-kue basah.

“Jajane Pak Ji.”  Kata emak sambil menaruh bungkusan itu di depanku. Kupikir, mungkin saat itu, aku terlalu konsentrasi dengan acara yang kutonton di televisi hingga tak mendengar suara truntung mobil Pak Ji. 
“Mobilnya ganti Zebra.” Terang emak. Saat itu, kukira warna mobilnya ganti kombinasi putih-hitam, bukan lagi putih-merah. Namun, saat akan mandi, aku sengaja menengok ke arah rumah nenek yang beberapa langkah saja dari rumahku. Aku sama sekali tak menemukan sesuatu berwarna putih di halaman rumah nenek, melainkan sesuatu yang lain. Berwarna kuning keemasan, namun tak begitu terang. Alamak....

Keesokan harinya, kami berangkat ke Lamongan dengan mobil yang kemarin berhasil kuintip itu. Benar rupanya, mobilnya sudah ganti. Si truntung putih sudah paman jual, untuk kemudian dibelikan mobil yang kini mengantar kami ke Lamongan ini. Penggantian ini memang telah lama direncanakan. Sebelumnya, saat terakhir kali kami rombongan ke Tegal dan Bandung, Pak Ji memakai mobil dagangannya. Setahun setelah membawa Zebra itu, Pak Ji pulang dengan Kijang merah yang lebih berkelas. 

Truntung itu sudah benar-benar tidak ada. Bahkan aku sudah lupa kapan terakhir kali aku menaikinya. Mungkin, memang sudah waktunya Minicab itu pensiun. Mesin tuanya sempat beberapa kali rewel hingga Pak Ji harus mengotak-atik bagian tengah mobil itu, tempat si mesin tertanam. Sempat juga, di tengah-tengah perjalanan bersilaturahmi ke saudara saat lebaran, radiator mobil itu bermasalah hingga Pak Ji dan Pak Im harus pontang-panting mencari air bersih. Keluarga kami pun semakin besar. Para sepupu dan kakakku sudah menikah, juga dengan paman bibiku yang anaknya telah bertambah. Belum lagi dengan zaman yang terus berjalan, semakin meninggalkan mobil tua itu di belakang.

Baik truntung putih Pak Ji maupun truntung abu-abu Mas Huda keduanya adalah mesin-mesin tua yang besinya sudah lapuk karena dimakan usia. Namun, mewahnya Ferari yang paling mahal pun tak pernah mengalahkan kehangatan di dalam sederhananya si tua itu. Meskipun saat ini yang putih sudah tidak lagi bersama, dan mungkin yang abu juga akan mengalami hal yang sama, bersempit-sempit di sana akan selalu menjadi ingatan indah. Sebab darinya, kami belajar arti kebersamaan, dalam dua besi tua yang telah banyak berkarat.

Comments

Popular posts from this blog

Candi Tegowangi: Pesona Majapahit yang Tertinggal di Kediri

Wisata Sejarah Candi Surowono Kediri

Bangkitnya Pesona Lawang Sewu