The Crazy Little Thing

the crazy little thing

Aku berlari, sementara dia tak hentinya mengejarku. Buat apa, Brian? Aku sudah memilih pergi darimu, jadi untuk apa kamu lari? Kamu hanya akan lelah.

***

“Apa kau serius?”
Aku mengangguk. Sekali lagi aku memandang Nessy. Lalu, airmata tak lagi bisa kubendung. Hingga Nessy seketika mendekapku ke pelukannya.
“Menangislah, Audrey.”

Lalu, pagi ini aku berangkat kuliah dengan mata bengkak. Juga dengan wajah yang sama sekali tak segar. Aku menangis semalaman, hingga ketiduran tanpa sempat menghapus riasan wajah. Andai hari ini tak ada ujian, aku mungkin tak akan ke kampus.
“Audrey....” Ah, aku sangat tak berharap bertemu dengannya hari ini. Tapi, kenapa sepagi ini dia sudah muncul?

Aku sama sekali tidak memedulikannya. Aku juga tak berusaha untuk lari seperti kemarin. Jadi, dengan mudah dia menjajariku. Terus melempar pertanyaan yang hanya angin lalu bagiku.
“AUDREY......” Tiba-tiba nadanya tinggi. Aku sadar dia pasti sebal sebab tak kuhiraukan. Tapi, memang buat apa mendengarnya?

Pada akhirnya Brian kesal sendiri. Dia menyerah dan membiarkanku masuk kelas. 

Setiba di kelas, aku langsung duduk. Aku menunduk. Dan yang sebenarnya sama sekali tak ingin kulakukan. Aku menangis. Lagi. Ah, Nessy.... Kurasa aku butuh kamu sekarang.

Lalu, saat mau pulang kuliah, aku baru sadar, kesepian telah benar-benar menyergapku. Tak akan ada lagi yang menjemputku hari ini. Baiklah, tak masalah, aku bisa naik bus atau taksi untuk pulang. Namun, bukan rumah yang hendak kutuju, aku perlu ke tempat Nessy. Ada banyak hal yang mau kusampaikan.

“Nessy, dia jahat bukan?”
“Iya, Drey....” Nessy terus mengelus rambutku. 

Tatapan kosongku, tiba-tiba menyentuh sebuah lukisan. Lukisan abstrak yang tergantung di dinding kafe Nessy.
“Ah, kenapa kamu masih menyimpan lukisan itu, Nes?” Kepalaku segera bangkit dari meja tempat kumerebahkannya. Membuat Nessy berhenti mengelus rambutku dan sedikit terkejut juga, karena aku begitu tiba-tiba bangkit. 
“Buat apa, Nes?” Kutengok Nessy. 
“Audrey....” Nessy terlihat cemas sebab airmata yang sedari tadi kutahan, seperti hendak meluncur dari mataku.

“Ah, iya,” Aku teringat sesuatu. Mataku tertuju pada sebuah cincin yang melingkar di jari manisku. “Seharusnya ini juga harus dibuang.” Kulempar saja cincin itu hingga ia menimbulkan suara gemeleting di lantai.
“Buang saja semuanya, Nes... Buang....” 
Nessy segera menarikku ke pelukannya, karena aku lagi-lagi menangis. 

Tak kusangka lukisan itu yang bakal menyaksikan tangisanku sore ini. Dulu, dengan tanganku sendiri aku memoleskan warna di kanvas putih itu. Kubiarkan tanganku kotor hanya demi melihatnya tak lagi kosong. Lalu, saat ia telah sempurna menjadi indah, mengapa keelokkannya malah menerkam jiwa? Memandangnya hanya membuat hati lara sekarang. Sebab pada lukisan itu, bisa kudapati bekas tangannya yang telah membantuku memoleskan warna. Karya pertamaku, karya kami berdua. Oh.... sungguh kenapa?

Selepas lukisan itu jadi, kami antar lukisan itu ke acara pembukaan kafe Nessy. Itu hadiah dari kami. Buat sahabat kami, Nessy yang teramat senang menerimanya. Sungguh Nessy, apakah seorang yang meminta bahkan menyuruhmu membuang kado kesukaanmu ini masih bisa disebut sahabat? Tapi, di tengah hujan yang memilukan itu, Nessy tetap memelukku hangat.
“Nessy, aku harus kuat, kan?”
“Iya, Audrey. Iya....”

Lukisan itu juga punya arti yang lain. Kisah tersendiri bagiku. Saat itu, ketika sinar matahari begitu menjerang. Panas-panas mentari menerobos melalui sela-sela ventilasi. Anak-anak rambut yang lepas dari ikatannya sedikit mengganggu pandanganku pada kanvas yang tengah kuwarnai. Lalu, dengan punggung tanganku kuarahkan beberapa anak rambut itu ke daun telinga. Cuaca panas, membuatku sedikit gerah. 

“Lelah?” Tanya Brian melihatku berulangkali menyilakan rambut sembari mengelap keringat. 
Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum. Lalu, kuraih pewarna biru kemudian kutorehkan pada kanvas. Melanjutkan melukis. 
Lalu... Brian menyenggol cepuk pewarna. Dia segera mengambil pewarna yang menggelinding ke bawah meja itu. Sementara aku masih melanjutkan melukis.
“Aduh, jauh juga.” Gumam Brian di bawah sana. “Yah, malah lari lagi.” Keluh Brian setelah kudengar suara benda menggelinding lagi. Benar saja, kulihat kaleng kecil itu sampai saja di bawah kakiku.
“Ambilkan, dong. Di bawah kakimu, tuh.”
Ah... Brian. Mengulur waktu saja. Jadinya kan gak selesai-selesai nglukisnya. Tapi, yah, akhirnya kuambil juga cat itu. 
“Buka kan sekalian, ya.” Tuh kan, mulai banyak permintaan.

Dengan sedikit sebal, kubuka tutup cat itu. Lalu, mataku tak mampu menyembunyikan haru. Tak ada cat sama sekali di sana, melainkan hanya wadah kosong dengan sebuah cincin.
“Will you marry me?” Kata Brian yang tiba-tiba sudah berlutut di sampingku. 
Maka, dengan segera kuraih tangan Brian. Kubangkitkan ia dari perlututannya. Dan dengan linangan air mata, aku memeluk Brian penuh bahagia.

Hari itu, aku merasa Brian benar-benar menjadi milikku. Pun denganku yang seolah telah jadi miliknya. Lalu, malamnya, di acara pembukaan kafe Nessy, aku memamerkan cincin di jari manisku itu penuh rasa bangga.

Brian memang selalu bisa membuatku senang. Bagaimana sejak SMA dulu, dia selalu berusaha menyapaku. Menyelipkan gambar-gambar tak penting di laci mejaku. Hingga menyanyikan lagu cinta di pensi sekolah buatku. Itu sungguh menganggu. Tapi, pada akhirnya, aku terbiasa, dan jadi suka. Aku bahkan sering menemaninya berburu objek hingga pinggir kota. Juga mengawaninya melukis di ujung senja. Lalu, yang paling kusuka, kado ulang tahun keduapuluhku.

Saat itu, kami baru berkuliah di kampus yang berbeda. Sejak masuk kuliah itulah, hampir setiap sore aku main ke kelas melukisnya. Aku sudah terbiasa menemaninya melukis. Menunggu atau sekadar melihatnya menggoreskan kuas ke kanvas. 

Dia memberiku sebuah lukisan, wajah terakhirku di umur belasan katanya. Dia berbohong padaku hanya untuk lukisan itu. Selama tiga hari dia tak dapat kutemui di mana pun. Tiba-tiba ponselnya pun sulit dihubungi. Lalu, tepat pukul 12 malam di hari ulang tahunku, dia mengetuk pintu. Menyerahkan lukisan yang kini tergantung di kamarku.

Karena lukisan itu juga, seorang temanku yang melihatnya terpincut. Dia memintaku mengatakan pada Brian untuk melukisnya. Brian hampir menolak, tapi karena aku memohon, Brian akhirnya mau. Tapi, siapa kira ternyata itu adalah petaka?

Amarta yang juga teman dekat Nessy, begitu puas dengan lukisan Brian. Saking senangnya, dia kemudian meminta Brian mengajarinya melukis. Tak sekadar mengajari, Brian juga mulai sering membawa Marta ke kelas melukisnya. Hingga tepat kemarin malam. Brian menyatakan suatu hal yang tak terduga.

“Kau melamar Marta?” Ini lamaran, Brian. Kau lamar gadis lagi sementara cincin lain masih tersemat di jariku. “Lalu, kita ini apa?”
“Kita bisa hidup bersama. Bertiga. Kamu dan Marta teman baik, kan?”
Iya. Tapi, itu ide gila. Aku tak kan segila itu. Mana mungkin ada perempuan bisa melakukannya?
“Sesungguhnya, hubungan kita belum mengikat. Kau sudah melamar Marta, itu artinya, kau sudah melepaskanku. Jadi, hari ini, aku putuskan untuk pergi darimu.”
“Tapi, aku cinta kamu, Drey.”
“Tapi, kamu menginginkan Marta.”
“Iya, jadi ayo kita bersama! Apa masalahnya?” Aku tahu Brian adalah seorang yang nekad. Tapi, ini sudah berlebihan. Kurasa dia sudah kehilangan akal sehatnya.
“Sudah, Brian. Kamu bersama Marta, berarti aku sudah tak ada.”

Maka, aku berlari dengan airmata yang berderai. Bagiku lima tahun kebersamaanku dengan Brian. Harus berakhir seperti ini?

Comments

Popular posts from this blog

Candi Tegowangi: Pesona Majapahit yang Tertinggal di Kediri

Wisata Sejarah Candi Surowono Kediri

Bangkitnya Pesona Lawang Sewu