Posts

Entri yang Diunggulkan

Apel dari Cirebon

Image
Siang terasa lama beranjak. Matahari masih bertahta di atas kepala. Itu artinya, masih lama pula waktuku untuk menunggunya berjalan menuju peraduannya. Emak bilang, aku harus sabar. Aku harus kuat. Karena ini memang hari terakhir, besok aku boleh makan minum sepuasnya lagi. Bahkan di waktu pagi saat aku bangun tidur, aku sudah boleh meneguk tajin asin-asin manis racikan emak. Sementara itu, sekolah sudah lama libur. Walhasil, tak ada kegiatan lain di waktu pagiku selain menunggui benda kotak yang sedari tadi memendarkan cahaya dengan beraneka gambar yang muncul di layarnya. Bukan hanya acaranya, saat puasa begini, iklan bisa jadi hal yang dinantikan. Akhirnya, yang dinanti itu tiba, warna merahnya langsung menggugah mata beratku. Potongan belimbing, kiwi, dan stroberi kian membuatnya semarak dan memanjakan mata. Juga hadir beberapa embun menempel pada dinding-dinding baskom bening itu sebagai jaminan utama kesegarannya. Menetes lalu meluncur dengan mulus. Aku bahkan bisa m

Besi Tua yang Berjasa (2)

Image
Matahari mulai meninggi saat aku bersiap. Kupakai baju baruku yang sudah kupersiapkan kemarin. Setelah itu, segera kuoleskan krim pelembab ke wajahku, lalu kusempurnakan dengan pulasan bedak tabur. Kerudung yang masih baru juga, kemudian kuselimutkan ke kepalaku. Tak berapa setelahnya, aku pun selesai.  Bersama dengan kedua embakku, aku berjalan menuju rumah nenekku. Sandal baru membuat langkahku juga semakin ringan. Hingga hanya beberapa saat saja, sebuah rumah dengan keramik hijau telah ada di hadapan kami. Pelatarannya yang luas telah kupijaki. Di halaman itu pula, kulihat sebuah mobil putih terparkir. Ah, mobil pun sudah siap rupanya, batinku bergumam. Sementara dari luar, keriweuhan sudah terdengar. Begitu aku melewati pintu kayu bercat abu-abu itu, akhirnya kurasakan keriuhan sebenarnya. Namun, di tengah kerepotan itu.... “Wa alaikum salam....” hampir seisi ruang tamu menyambutku. Semua mata kini mengarah padaku dan kakakku. “Eh... wong ayu sudah datang.” Kata Bu

Betawi Seratus Persen

Image
Ied Mubarak... Happy Ied mubarak. Selamat hari raya Idul Fitri.... yey... Akhirnya, hari ini tiba juga. Satu hari yang sangat kunanti-nantikan, dimana langit rasanya lebih cerah dari biasanya, matahari yang lebih hangat dari biasanya, dan tentunya udara yang lebih segar dari biasanya. Ya, mungkin dalam setahun hanya satu kali hidungku dilewati udara segar ini. Karena di 364 hari lainnya, asap knalpot beribu kendaraan mengungkung Jakarta, kota metropolitan yang kutinggali. Setelah acara maaf-maafan dan makan ketupat selesai, biasanya aku akan langsung tancap menggeber scoopy merahku untuk berkeliling menyusuri Jakarta yang mendadak seperti kota mati. Sekali lagi, ini momen langka. Sebelum seluruh penghuninya kembali, maka aku harus manfaatkan ini sebaik mungkin. Kalau Jakarta tiap hari begini, kurasa aku pasti betah, deh. Tapi, nyatanya? “Gimane, enak kan di Jakarta?” Seorang pria berbadan tambun langsung menyambutku dengan pertanyaannya. “Yey... enak sekali doang.” Ti

A Plate of Steak

Image
Malam itu, Pak Rory datang ke rumah. Ia sendiri yang memaksa datang, sebab ingin meminta izin emak katanya. Kami akan makan malam. Ia juga menyuruhku untuk memakai baju terbaikku. Fortuner itu pun melaju tenang di jalanan kota. Hingga tak lama, tibalah kami di sebuah restoran. Dari luar, aku melihat seorang wanita dengan mini dress yang cantik. Duduk berhadapan dengan seorang pria berkemeja rapi. Keduanya terlihat asyik menikmati sebuah hidangan sambil sesekali bercakap-cakap. “Ayo, Din, kita masuk.” Aku menelan ludah ketika Pak Rory mengajakku masuk. Lalu, kuikuti guruku itu yang hari ini tampak begitu rapi. Usai menaiki beberapa anak tangga, tibalah kami di sebuah ruangan dengan nyala lampu-lampu pijar merah yang hangat. Meja-meja kecil tertata di sana. Lengkap dengan dua kursi yang saling berhadapan. Namun, hanya beberapa meja saja yang terisi pengunjung. Pak Rory kemudian menunjuk sebuah meja di sudut ruangan itu. Sebuah spot yang baik. Dekat jendela, yang dari s

Sepucuk Surat dalam Alfiyah

Image
Asap putih terlihat melangit dari sebuah bangunan. Seorang gadis mengembang kempiskan pipinya. Meniupi sebuah tungku dengan selongsong bambu. Berkali-kali ia terbatuk-batuk karena asap yang kian mengepul. Entah sudah berapa kali dia meniup bara yang akan memerah terang ketika terkena angin dari mulutnya. Namun, tampaknya api masih enggan menyahut kayu-kayu mangga itu. “Pancing dulu dengan kardus ini.” Brukk... Sebongkah kardus tak lama sampai tepat di samping gadis yang duduk di atas kursi kecil menghadap tungku.  “Hujan-hujan begini, gak ada barang kering. Sulit menghidupkan api. Jadi, jangan banyak protes masakan ibu. Masak itu susah.” Tukas wanita paruh baya yang sedang menghaluskan bawang putih di cobek. Pada akhirnya, si gadis meraih kardus yang tergeletak di sampingnya itu. Ia sobek sedikit lalu memasukkannya ke dalam tungku. Kemudian, sekali lagi ia kirimkan angin menuju tungku berisi bara sisa pembakaran kayu melalui selongsong bambu. Wuss... Hembusan angin mem

ABAHKU (2): Satu di Antara Pesannya

Image
Mushola, 05.15. “Salah satu syarat sahnya salat adalah suci. Tak hanya badan, tapi juga tempat dan pakaian.” Abah meletakkan kitabnya, melepas kopiah putihnya, lalu menggulung lengan bajunya seatas siku. Abah berlanjut mengusap wajahnya. Dari batas tumbuhnya rambut hingga dagu. Dari anak kuping kanan hingga anak kuping kiri. Abah kemudian melanjutkan mengusap kedua lengannya sampai di atas siku. “Lebih sedikit tak apa. Daripada tidak sampai sesiku.” Abah sekali lagi mengusap lengannya. “Harus diperhatikan siku benar-benar sudah terbasuh.” Abah lalu mengembalikan lengan bajunya. “Setelah membasuh tangan. Selanjutnya adalah membasuh kepala.” Abah mengedarkan pandangannya ke penjuru musola sekilas lalu kembali meneruskan penjelasannya. “Perlu diingat, membasuh kepala, bukan membasuh rambut.” Abah lalu mengarahkan jari-jari tangannya ke tengah kepalanya. “Cara yang paling aman adalah membasuh bagian tengah kepala. Sehingga kita bisa ber- husnudzon bahwa air itu a