ABAHKU (1): Seruan Sholat Abah
Mataku mengerjap-ngerjap. Aku merasa sangat silau. Ketika akhirnya kedua mataku terbuka, aku bisa melihat ruangan ini dengan jelas. Empat buah lampu menyala terang di atasku. Kemudian aku menoleh, Dila masih terlelap di sampingku. Ah, jam berapa ini?
Dengan kesadaran yang belum penuh`, aku bangun. Kuambil smartphone-ku yang sengaja kutaruh di sampingku sebelum aku tidur. Seketika handphone itu menyala saat kutekan tombol on di sisi kanannya. Darinya kulihat empat buah angka berjejer. 04.30. jam setengah lima.
“Salat, salat, salat....” Sekali lagi aku mendengar suara yang telah membangunkanku itu. Sebuah suara pelan yang terdengar jelas di kesunyian hari yang masih dini. Halus dan menyentuh. Membuatku enggan melewatkan ajakannya untuk menunaikan salat subuh.
***
Bangunan tiga lantai ini kini menjadi rumah baruku. Pun dengan sebuah kamar yang berisi dua puluhan orang lebih, yang jadi tempatku tidur sekarang. Aku juga akhirnya mendapat seorang Abah baru. Pria paruh baya berumuran empat puluh, si pemilik suara sendu. Lima waktu dalam sehari, aku bisa mendengar suara itu. Suara penuh magis yang mampu membuatku bangun meski tubuh sedang lemas-lemasnya minta istirahat.
Seperti siang ini, aku mendengarnya lagi.
“Salat, salat, Mbak...” Bel kedua sudah berbunyi beberapa saat lalu. Sudah pasti, belum ada yang di musola. Sedari tadi, aku yang sedang rebahan belum melihat satu pun orang bermukena turun. Kasurku letaknya memang tepat di depan pintu. Macam apa ini? Apa ada guru menunggu muridnya? Buru-buru aku beranjak.
Benar saja, Abah sudah duduk di teras ndalem yang ada di depan musola pas. Aku berjalan membungkuk, masuk ke musola. Tak ada satu pun manusia di sana.
“Aqimi sholah....” Abah berjalan menuju pengimamannya sesaat setelah seorang lagi datang. Jadilah, dhuhur itu, Abah memimpin shalat dua jamaah saja.
Aku tahu betul, memang di jam-jam dhuhur hingga asar, banyak snatri yang masih beraktivitas di sekolah. Tapi itu tak semua. Beberapa sudah pulang. Teman sekamarku pun tak sedikit yang tiduran tadi. Main hp bahkan juga ngobrol. Seharusnya semua itu bisa ditinggalkan. Begitu aku naik kembali, mereka masih asyik dengan kegiatan yang sama. Apakah seperti ini balasan untuk Abah? Seruan keikhlasannya. Ketika ia memanggil untuk salat juga seruan aqimisholah-nya. Rasanya tak tega mendengar semua itu.
Belum lagi ketika malam, kami masih gaduh. Ngobrol sambil bercanda. Berselancar di dunia maya dengan sambungan wifi yang memang tersedia. Mengerjakan tugas hingga larut. Hilang semua kantuk yang tadi menjadi alasan kami mendesak para ustadz untuk memulangkan kami lebih awal saat diniyah. Tengah malam kami baru tidur. Lalu saat setengah empat waktu qiyamul lail tiba, hanya segelintir yang hadir. Untuk itu, setiap pukul sepuluh malam, Abah membunyikan bel yang sama seperti waktu salat. Meminta pondok sepi dari aktivitas. Semua harus tidur.
***
Tapi siang ini, hanya bel yang berbunyi. Tak ada seruan keikhlasan itu lagi. Pun saat ashar, magrib, isya, dan subuh. Alhasil, hanya satu dua glintir santri turun ke bawah untuk jamaah. Musola jadi sepi, kecuali saat magrib, isya, dan subuh ketika kami sudah tak ada kegiatan kuliah lagi. Meski begitu, semua terasa kurang. Ada apa dengan Abah? Mungkinkah ia telah lelah mengingatkan kami lagi?
Comments
Post a Comment