A Plate of Steak

Malam itu, Pak Rory datang ke rumah. Ia sendiri yang memaksa datang, sebab ingin meminta izin emak katanya. Kami akan makan malam. Ia juga menyuruhku untuk memakai baju terbaikku.

Fortuner itu pun melaju tenang di jalanan kota. Hingga tak lama, tibalah kami di sebuah restoran. Dari luar, aku melihat seorang wanita dengan mini dress yang cantik. Duduk berhadapan dengan seorang pria berkemeja rapi. Keduanya terlihat asyik menikmati sebuah hidangan sambil sesekali bercakap-cakap.

“Ayo, Din, kita masuk.”
Aku menelan ludah ketika Pak Rory mengajakku masuk. Lalu, kuikuti guruku itu yang hari ini tampak begitu rapi.

Usai menaiki beberapa anak tangga, tibalah kami di sebuah ruangan dengan nyala lampu-lampu pijar merah yang hangat. Meja-meja kecil tertata di sana. Lengkap dengan dua kursi yang saling berhadapan. Namun, hanya beberapa meja saja yang terisi pengunjung.

Pak Rory kemudian menunjuk sebuah meja di sudut ruangan itu. Sebuah spot yang baik. Dekat jendela, yang dari sana, kami bisa menikmati gemerlap kota di malam hari. Pak Rory kemudian menarik kursi itu, lalu mempersilakanku untuk duduk. Setelah aku menempati kursi, ia kemudian duduk di hadapanku.

Tempat ini rasanya begitu spesial. Pun demikian dengan kursi yang kududuki ini. Sama persis dengan yang kuinginkan. Sebuah tempat yang dulu hanya bisa kupandangi tiap kali berhenti di lampu merah tepat di samping restoran ini. Kupikir, pasti romantis ketika malam makan berdua di dalam sana. Dengan pemandangan malam kota yang indah. Hingga mereka yang di dalam seolah tak tersentuh hiruk pikuk kendaraan di bawahnya.

Tak lama, seorang pelayan datang. Membawakan daftar menu yang tertulis rapi di sebuah kertas tebal mirip sampul rapor SMA-ku. Kulihat deretan nama makanan itu. Tak ada mie ayam atau bakso favoritku. Semua tereja dalam bahasa asing.

Hanya sekejap, Pak Rory menjatuhkan pilihannya pada steak medium dengan saus jamur. Minumannya pun terdengar berkelas. Sedangkan aku, belum ada satu makanan yang kurasa menarik. Semuanya asing bagiku.

“Steak di sini sangat terkenal. Terbaik di kota ini.” Pak Rory mungkin tahu, aku sedang kebingungan. Tapi, pengetahuannya tentang restoran ini semakin membuatku ciut. Aku hanya bertanya pada diriku, siapa yang warga asli di sini? Siapa pula yang lebih akrab dengan restoran ini? Pada akhirnya, aku memesan menu yang sama seperti Pak Rory. 

Setelah beberapa menit menunggu, dua orang waiter datang. Menghantarkan dua piring dan dua gelas minuman yang terlihat begitu cantik. Sebongkah daging berwarna kecoklatan telah tersaji di hadapanku. Seperti yang kulihat di tv juga, rupanya di setiap steak benar-benar tak ada sendok. Yang ada hanyalah sebuah garpu dan sebilah pisau kecil untuk memotong daging bakar itu. Bagaimana dengan tangan Jawaku yang terbiasa muluk ini? Memakai garpu pun aku masih kesusahan, kini harus memegang pisau untuk memakan sebuah daging?

steak

Agak ragu, kuraih pisau yang jauh berkilat dibanding pisau dapurku itu. Perlahan, aku mulai menggoreskannya pada daging di piringku. Sambil sesekali, kuamati, bagaimana Pak Rory menggunakan pisau itu.

Ah, Pak Rory tak terlihat kerepotan sama sekali. Ia memotong daging itu dengan cepat. Kemudian menusuknya menggunakan garpu. Lalu, memasukkan potongan daging itu ke mulut. Semua begitu enak dipandang. Tak seperti gerakanku yang teramat kaku. Pun dengan busana Pak Rory yang tak jauh beda dengan pengunjung lain. Sedikit kontras dengan gamisku yang lebih cocok untuk pengajian.

Makan malam hari itu. Entah kenapa, jauh dari kesan romantis bagiku. Pikiranku malah dihantui rasa bersalah kepada Pak Rory yang seorang diri menikmati acara makan malam ini. Ia dan restoran ini terlihat begitu serasi. Tapi aku, meski restoran ini begitu nyaman, makanan yang lezat, pun dengan Pak Rory yang begitu perhatian padaku, tetap saja aku tak menikmati ini sepenuhnya. Apakah ini hanya karena belum terbiasa atau memang bukan diriku yang sebenarnya?

Sampai di rumah pun, kesan itu belum pula beranjak dari pikirku. Pikiran ini malah makin ekstrem. Kurasa, aku dan Pak Rory terlalu jauh. Begitu banyak perbedaan yang mencolok. Sehingga bila diteruskan, akan sulit untuk jadi beriringan.

Pikiran ini perlahan-lahan mulai mengantarkanku kepada satu sosok yang lama menepi dari kehidupanku. Tergerus oleh kehadiran Pak Rory yang tiba-tiba membuatnya tersisih. Yaitu, Kang Zain. Seseorang yang bahkan tak berani semotor denganku. Yang lebih suka memakai jaket dan bersandal jepit bila tak sedang bekerja. Juga lebih akrab dengan sarung daripada celana jeans yang trendi.

Aku jadi teringat. Tiga hari lalu, dia meneleponku.
“Gimana kabarnya, Din? Kok lama gak ikut rapat.”
Benar. Sudah empat kali berturut-turut aku tidak ikut rapat. Bagaimana juga perkembangan proyek itu sekarang?
“Kau masih belajar dengan Pak Rory? Kudengar kalian sering keluar bersama untuk mencari liputan. Kamu tidak kelelahan, kan? Tidak sedang sakit, kan?”

Entahlah, hari itu Kang Zain sedikit aneh. Tiba-tiba menelepon setelah sekian lama hanya menghubungi lewat pesan pendek. Pembicaraan singkat itu pula menjadi saat terakhir kalinya aku berhubungan dengan Kang Zain. Rapat pun kebetulan belum teragenda. 

Sudah berulang kali aku mencoba mengontaknya lagi, tapi dia tak pernah membalas. Apa mungkin dia marah padaku? Kenapa juga dia marah? Apa mungkin dia marah karena aku terlalu mengabaikannya? Bila dipikir-pikir, setelah bertemu dengan Pak Rory, aku memang jarang berhubungan dengan Kang Zain lagi. Aku jadi merasa bersalah.

Pikiran itu terus berkutat dalam kepalaku. Hingga suatu hari, kuputuskan untuk langsung menemui Kang Zain. Aku tahu betul, dimana aku bisa menemukannya. Siang itu, saat sedang istirahat, aku langsung meninggalkan tempat kerjaku. Begitu sampai, aku meminta dipanggilkan Kang Zain.

“Kang Zain...” Buru-buru kupanggil dia saat kulihat ia keluar dari kantornya. Rupanya, kehadiranku membuatnya terkejut. Biarlah. Aku sudah bertekad hari ini, jadi ya sekalian saja kuberanikan diri untuk melangkah lebih jauh.
“Aku belum makan siang. Mau makan siang bersama? Aku bawa motor hari ini.”
Kang Zain yang pasti tidak tega melihatku jauh-jauh kesana, tak lagi bisa menolak. Maka, siang itu, kami makan bersama. Seperti biasa, dengan motor sendiri-sendiri.

Kedai mi ayam dekat SMA, itu tempat makan favorit kami. Aku dan Kang Zain sering makan di sana. Dulu, sewaktu baru saling kenal. Kami sering bertukar kisah tentang masa sekolah. Termasuk tentang mi ayam Pak Sis ini, yang jadi favorit anak-anak SMA 2. Di mi ayam Pak Sis jugalah kami makan bersama untuk pertama kali meski tetap dengan rekan-rekan kerja. Tapi, kali ini kami benar-benar berdua.

Setelah makan, kami salat di masjid SMA. Kebetulan saat kami sampai, jamaah sekolah baru saja selesai. Beberapa murid terlihat baru meninggalkan masjid yang mulai sepi. Seperti biasa, kami berpisah di serambi. Kang Zain menuju masjid dalam, sedangkan aku naik ke lantai dua. Kang Zain tak pernah mau berjamaah berdua denganku. Dia selalu memilih salat dengan jamaah lain.

Rupanya aku selesai duluan. Kang Zain pasti masih wirid. Dulu sewaktu sekolah, dia terkenal sebagai ahli i’tikaf. Berdzikir maupun membaca Quran. Seorang muazin masjid sekolah yang mashur. Tiga tahun mengurus dan hidup di masjid ini, mungkin membuatnya rindu. Dan mungkin saat ini, dia masih mengenang masa-masa itu. Apalagi, masjid ini begitu tenang. Kata guruku, masjid ini tergolong masjid tua yang dibangun dengan ikhtiar penuh pendirinya sehingga memiliki suasana yang berbeda jika beribadah di sana. Memang, salat di masjid ini terasa lain. Lebih damai. Begitu nikmat untuk berlama-lama di dalamnya.

Tak begitu lama, Kang Zain keluar. Dia duduk tak jauh dari tempatku menunggunya. Di serambi masjid.
“Kang, aku minta maaf. Kupikir, aku sudah banyak salah sama Kang Zain.” Kang Zain yang baru akan memakai kaos kaki abu-abunya, tiba-tiba urung melanjutkan.
“Kenapa minta maaf?” Dia melihat ke arahku.
“Kupikir, Kang Zain marah karena aku sering tidak ikut rapat.” Kurasa memang begitu. Sedari tadi Kang Zain terasa begitu dingin. Begitu lain.

Setelah mendengarku, ia melanjutkan aktivitas yang tadi tak jadi ia lakukan.
“Bagaimana kabar Pak Rory?”
Kenapa dia tiba-tiba menanyakan itu.
“Pak Rory akan balik ke Jakarta lusa.”
“Bagaimana belajarmu selama ini?”
“Sudah selesai.” Jawabku singkat.
“Ah, kau belajar cepat rupanya.” Katanya sambil menali sepatu.
“Tidak juga. Kami lebih sering jalan-jalan saja.”
“Jalan-jalan?” Kang Zain berhenti sejenak, lalu memandang ke arah depan. Entah, menatap apa. “Kemana?” Lanjutnya. Kemudian, ia kembali lagi menali sepatu.
“Banyak.”

“Kau senang?”
“Senang, sih. Tapi, sedikit tidak nyaman.”
“Tidak nyaman?” Kang Zain bertanya pas sekali saat ia selesai menyimpul tali sepatunya.
“Iya. Setiap keluar, kami hanya berdua di mobil yang sama. Itu membuatku sedikit canggung. Lagipula, emak juga tidak begitu menghendakinya.” Jawabku. “Oh, ya. Kami pernah ke restoran steak, makan malam. Ah, aku sama sekali tidak menikmati steak itu. Kurasa, kami memang terlalu jauh, dan lebih baik, kami hanya seorang guru dan murid.” Semua kata-kata ini mengalir begitu saja. “Ah, tidak seharusnya juga aku cerita seperti ini. Aku minta maaf, Kang.” Sesalku.

“Baiklah, Din. Kau sendiri sudah memutuskan.”
“Iya, Kang. Tak seharusnya aku termakan fantasiku.” Tiba-tiba teringat olehku bagaimana dulu aku mengajukan proposal kerjasama pada Dinas tempat Kang Zain bekerja. Kemudian, setelah proposal itu diterima dan mulai dirancang, aku begitu sering tidak hadir. Ah, itu mimpi yang sesungguhnya harus kukejar. Sekarang, hatiku serasa dibebani oleh rasa bersalah pada Kang Zain yang sudah membantu mempresentasikan proposalku pada instansinya.

 “Emakmu hari ini ada di rumah?”
“Iya, emak tidak pernah pergi kemana-mana.”
“Kamu juga, kan?”
“Iya. Memang kenapa?”
“Baiklah, setelah ini kamu lekas balik kerja. Terus pulang, dan istirahatlah.” Katanya lalu berdiri. Aku pun mengangguk, mengiyakan. Kemudian, dia mengulum salam dan pergi menuju motornya. Aku melihat Kang Zain pulang lebih dahulu, sedang aku masih duduk di serambi masjid, aku masih ingin menikmati kedamaian di masjid ini. Mengingat kembali ke masa-masa dahulu. Masa-masa aku sering mencuri pandang ke dalam masjid, kalau-kalau ada Kang Zain sedang mengaji sepulang sekolah.

Ya, pada akhirnya, puzzle itu menemukan potongannya. Kang Zain tanpa diduga datang ke rumah. Mengetuk pintu tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Malam itu juga. Membuatku sangat gugup ketika tiba-tiba emak memberitahu. Lalu, dengan tangan bergetar, kuantarkan tiga gelas teh ke ruang tamu. Mataku yang selalu kaku kian terpaku pada kaki meja ruang tamu. Aku masih mengingat keheningan itu. Hingga suara tetamu mengangkat cangkir pun terdengar olehku. 

“Alhamdulillah, tehnya nikmat sekali. Bapak akan sangat senang bila setiap pagi bisa minum teh seperti ini. Kamu mau kan membuat teh seperti ini setiap pagi, Nduk?” Suara itu datang dari seorang lelaki, Bapak Kang Zain. Ia tertawa kecil demi melihatku geragapan begitu ia tanyai. Seolah tanpa diberi tahu pun, semua mengerti apa jawabku. 
“Kau ini diam saja, Zain. Bagaimana, kamu juga senang kan dibuatkan teh senikmat ini?” Kang Zain mengangguk pelan sambil tersenyum kecil. 
“Alhamdulillah,” Bapak kembali tertawa, diikuti yang lain.

Terakhir, ibuk memasangkan sebuah cincin di jari manis kiriku. Begitu cincin itu melingkar sempurna, ia tersenyum dan memandang lembut padaku. “Pas,” katanya. Lekas diikuti hamdalah yang lain. Lalu, perempuan itu memegang kepalaku kemudian mengecup keningku. Selepas itu, tak sengaja pandangku bertemu dengan mata Kang Zain. Kami yang sama-sama malu, buru-buru menundukkan kepala. Dalam masa yang singkat itu, sempat kutangkap ada senyum yang merekah bahagia padanya. Alhamdulillah. 

Kang Zain, bintang sekolah yang begitu terang hingga untuk memimpikannya saja tak berani kulakukan. Ia yang begitu terjaga oleh ketawadhuan. Hanya bisa membuatku merayu-rayu Tuhan, semoga memungkinkan bocah culun ini bersanding dengan bintangnya yang terang. 
Kemudian, ketika diri ini nyaris frustasi. Ya, aku tak berhasil menembus universitas impianku. Membuatku harus stuck di kota ini dan menata kembali setiap mimpi.

Aku lalu bertemu dengan sosok yang penuh inspirasi. Vicky Asrory, seorang juru warta yang telah berkarir di ibukota. Aku mengenalnya sebagai seorang mentor dalam kursus public speaking yang kuikuti tak lama setelah lulus SMA. Dalam pertemuan singkat itu, kami menjalin komunikasi yang cukup padat. Hingga perlahan, ia kembali menghidupkan mimpi-mimpiku yang nyaris mati ditinggal harapan. Statusnya sebagai seorang jurnalis tidak bisa tidak untuk tidak membuatku terpikat sebab kesamaan mimpi yang kupunya. Selain mimpi, dia juga mulai menyemai rasa di hati. Mengairi serta menyinari hingga daun-daunnya perlahan bersemi. Menggusur nama yang telah lama bertahta. Karena kepastian yang ia katungkan terasa lebih kentara. Bagaimana tidak nyata, mengenal namaku saja Kang Zain tidak. Sedang Pak Rory, selalu menyapaku dengan akrabnya. 

Tapi nyatanya, sepiring steak yang kunikmati malam itu membuatku tersadar. Pak Rory yang sempat menebar harapan, tetap berakhir sebagai guru yang penuh perhatian. Sedang yang lama terpisah tiba-tiba dipertemukan sebagai seorang abdi negara yang menerima proposal seorang pegiat zakat. Proposal yang melahirkan proyek besar, dan tanpa sengaja juga menalikan sebuah kisah lama. Cintaku yang terpendam semasa SMA juga cinta Kang Zain yang baru menemukan muara.

Comments

Popular posts from this blog

Candi Tegowangi: Pesona Majapahit yang Tertinggal di Kediri

Wisata Sejarah Candi Surowono Kediri

Bangkitnya Pesona Lawang Sewu