Sepucuk Surat dalam Alfiyah
Asap putih terlihat melangit dari sebuah bangunan. Seorang gadis mengembang kempiskan pipinya. Meniupi sebuah tungku dengan selongsong bambu. Berkali-kali ia terbatuk-batuk karena asap yang kian mengepul. Entah sudah berapa kali dia meniup bara yang akan memerah terang ketika terkena angin dari mulutnya. Namun, tampaknya api masih enggan menyahut kayu-kayu mangga itu.
“Pancing dulu dengan kardus ini.” Brukk... Sebongkah kardus tak lama sampai tepat di samping gadis yang duduk di atas kursi kecil menghadap tungku.
“Hujan-hujan begini, gak ada barang kering. Sulit menghidupkan api. Jadi, jangan banyak protes masakan ibu. Masak itu susah.” Tukas wanita paruh baya yang sedang menghaluskan bawang putih di cobek.
Pada akhirnya, si gadis meraih kardus yang tergeletak di sampingnya itu. Ia sobek sedikit lalu memasukkannya ke dalam tungku. Kemudian, sekali lagi ia kirimkan angin menuju tungku berisi bara sisa pembakaran kayu melalui selongsong bambu. Wuss... Hembusan angin membuat bara itu menyala terang. Kemudian buk... Api menyambar cuilan kardus itu seketika. Cepat sekali api itu memakan kardusnya, hingga dalam sekejap kertas coklat itu telah hangus menjadi abu. Dan tungku yang sejenak membara, kini padam gulita.
“Kamu perempuan, Fi... Kamu harus bisa masak...” Gadis di depan tungku itu masih mencoba membangunkan api yang mungkin tidur terlalu pulas.
“Pokoknya, Ramadhan nanti kamu harus mondok.” Pada akhirnya, kata pamungkas itu terdengar juga. Kalimat itu sudah seperti garam yang tak pernah tertinggal dalam masakan, selalu ada di saat percakapan antara ibu dan anak itu. Namun, si gadis tampak biasa saja menanggapi ucapan emaknya.
Tapi, kalimat yang selama ini hanya kuanggap sebagai ancaman sebentar lagi akan menjadi kenyataan. Emak benar-benar mengirimku ke sebuah pesantren. Tepat tiga hari sebelum Ramadhan tiba, aku sudah diantar ke pesantren itu. Ya, anak malang itu adalah aku, si gadis peniup tungku.
Segala hal yang menunjang belajar kami telah dipersiapkan. Kitab-kitab telah tersedia di koperasi pondok, siap untuk diambil. Selama tiga hari sebelum masuk puasa, kami juga diberi kelas bimbingan menulis huruf Arab pego. Nantinya kami diharuskan menulis terjemahan kitab yang dibacakan ustadz-ustadz kami. Bahasa Jawanya maknani, memaknai dengan tulisan Arab pego di bawah kalimatnya langsung.
Lalu, sampailah aku di tanggal 1 Ramadhan. Di suatu siang, hari pertama puasa. Cuaca cukup panas dan di puncak rasa kantuk yang luar biasa. Tepat setelah sholat Dhuhur, aku mengikuti diniyah perdanaku.
Seorang bersarung biru masuk ke ruang kelasku. Di tangannya sudah ada kitab biru dengan sedikit warna coklat di pinggirnya. Ia berjalan tenang menuju meja yang ada paling depan. Kedatangannya membangunkan beberapa kepala yang tadinya tergeletak di atas meja. Tidak mungkin ia santri di sini. Ini pondok putri. Tapi mana mungkin dia itu ustadzku? Dia terlihat tak jauh beda umurnya dari kami. Masih sangat muda.
Beberapa saat kemudian, ia bersila di belakang meja di dekat papan tulis. Ia meletakkan kitabnya lalu melepas tasnya.
“Ngantuk, ya?” Tak kusangka kata itu yang pertama keluar darinya setelah mengulum salam dan memimpin berdoa. Ia berkata santai dengan senyum yang tersungging di bibirnya.
“Sama, saya juga ngantuk. Siang-siang yang lagi enak-enaknya buat tidur, malah disuruh ngaji. Apalagi puasa-puasa gini. Wah... emang paling enak untuk tidur. Iyakan?” Kelas masih hening.
“Saya percaya kalian semua pasti setuju, kan?” Satu dua kepala masih begitu melekat di atas bangku.
“Udah, sambil tidur-tiduran juga nggak apa-apa. Saya akan terus membaca sekali pun kalian semua tidur. Namanya juga kilatan. Jadi, dalam satu bulan ini kita usahakan harus khatam satu kitab.”
Jadi, dia benar ustadz yang akan mengajarku dua puluh hari ke depan?
“Saya baru akan lulus setahun lagi. Masih sama belajarnya seperti kalian.”
Rupanya, ustadzku itu memang masih muda. Masih nyantri di pondok ini juga, tapi yang putra. Ia sedang latihan mengabdi sebelum lulus dari pondok. Wajahnya pun, khas seorang santri. Bersih penuh keteduhan. Cukuplah menjadi pencuci mata sepat kami yang rasanya ingin dipejamkan saja. Bahkan beberapa temanku kepincut dengannya. Terlihat dari mulai bangkitnya kepala-kepala yang sedari tadi sulit lepas dari permukaan meja.
Ustadzku itu juga sangat hafal padaku. Gara-gara, aku tak bisa menjawab saat seorang temanku bertanya judul kitab yang kami pelajari. Aku benar-benar tak tahu apa nama kitab itu. Lalu, ternyata Ustadz Ali mendengar percakapan bisik-bisik kami itu. Beliau langsung memberi tahu judul kitab kami ada di sampulnya. Aku pun disuruhnya membaca. Hanya saja, aku tak bisa membacanya.
Karena kejadian itu juga, Ustadz Ali menahanku dan kawan yang bertanya padaku tadi setelah kelas selesai. Ia memberitahu kami untuk tidak sering ngobrol sendiri waktu pelajaran. Ustadz Ali kemudian meminta kami membaca judul kitab itu lagi. Ia pun memeriksa kitab kami lalu meminta kami membaca nadhom plus maknanya. Nadhom yang tak penuh termaknai. Beliau sendiri yang membolehkan tidak memaknai penuh.
“Yang penting kehadirannya, ngalap berkahnya mengaji di bulan puasa.” Aku bahkan masih begitu ingat kata-katanya itu.
Temanku mendapat giliran pertama, kemudian diikuti olehku. Setelah beberapa lama, akhirnya aku selesai melaksanakan ujian dadakan itu.
“Alhamdulillah...” Aku tak mengerti maksudnya mengucapkan syukur.
“Keyakinan saya tidak salah. Bacaan kalian bagus.” Katanya. “Tapi, kenapa tadi kamu gak bisa baca judul kitabnya?” Ustadz Ali kini bertanya padaku.
“Tulisannya kaligrafi, Ustadz. Sulit dibaca.” Jawabku. Aku merasa jadi orang terbodoh gara-gara ini.
“O, tapi bacaan pegomu bagus.”
Kurasa, tadi aku tak begitu lancar membaca tulisan Arab berbahasa Jawa itu.
“Siapa namamu?”
“Alfiyyah, ustadz.”
“Subhanaallah, nama yang bagus. Tahu artinya, kan?”
“Tidak, ustadz. Hanya, ibu saya pernah bercerita, dulu ketika ibu saya mengandung, ayah saya sedang hafalan kitab Alfiyyah. Jadi, saya diberi nama ini. Kebetulan juga, nama ayah saya Malik. Kata ibu, pengarang kitab ini juga bernama Malik.”
Senyum tipis tersungging di bibir ustadz muda bernama Ali itu begitu penjelasanku selesai.
“Subhanaallah… Bagus sekali pengetahuan serta penjelasanmu.” Katanya. “Kalau, begitu, kamu boleh dipanggil ‘Putrinya Pak Malik’.” Sejak saat itu juga, ustadzku itu lebih sering memanggilku dengan sebutan “Putrinya Pak Malik.”
Rupanya, masalah judul kitab itu belum sepenuhnya selesai. Dua hari setelah itu, secara tiba-tiba Ustadz Ali menanyakan nama judul kitab kami di tengah penjelasannya. Sementara aku yang geragapan, tidak ingat sama sekali judul kitab itu.
“Lihat dulu sampulnya!” Akhirnya semua menutup buku demi melihat nama kitab yang ada di bagian paling depan. Barulah setelah itu, aku bisa mengucapkan judul kitab itu dengan benar.
“Alhamdulillah...” Hela Ustadz Ali sambil tersenyum.
Menanyakan judul sekarang sepertinya sudah jadi kebiasaan Ustadz Ali. Ia begitu sering bertanya padaku. Sewaktu-waktu, aku juga harus siap dengan pertanyaan-pertanyaan mendadaknya yang pasti selalu mengarah padaku. Tak hanya Ustadz Ali, teman-temanku kini jadi ikut-ikutan sering bertanya judul kitab yang diajarkan Ustadz Ali. Setiap kali membicarakan tentang pelajaran Ustadz Ali, semua pasti bertanya judulnya padaku. Semua itu membuatku tidak hanya hafal tapi hafal buanget judul kitab itu. Ya, teman-temanku jadi sering menyindirku, sering menggodaku. Semua ini memang berawal dari mana lagi kalau bukan dari Ustadz Ali?
Ustadzku yang satu itu memang... Bisa dibilang dia yang paling kenal aku dibanding ustadz ustadzahku lainnya selama kilatan ini. Tapi, aku tak terlalu suka itu. Sebab, gara-gara itu aku jadi sering dikatai yang bukan-bukan. Teman-teman mulai banyak yang menjodoh-jodohkanku dengan Ustadz Ali. Ustadz Ali memang masih bujang. Itulah kenapa aku jadi sedikit tak nyaman dengan kehadirannya.
“Al...” Kurasa ada yang memanggilku. “Al.. Alfiyah..” Suara itu makin keras. Itu membuatku geragapan.
“Ye... Malah ngelamun... Ayo, gimana? Jadi ikut, gak?” Ah, aku lupa. Aku ada janji nganterin Mbak Dila ke pasar ta’jil.
Begitu kami sampai, pasar ta’jil dadakan itu sudah terlihat sibuk meski waktu buka masih satu jam lagi. Dengan sebuah dompet dan secarik kertas catatan titipan anak-anak sekamar, aku dan Mbak Dila melangkah pasti memulai perburuan ta’jil sore itu. Segala macam makanan dan minuman segar berjejer melambai-lambai. Tapi, entah mengapa, di antara puluhan pedagang yang ada, Mbak Dila memilih yang satu ini.
“Kamu belikan gorengannya, ya. Aku tak cari esnya.” Duh, Mbak Dila... Kenapa bukan aku saja yang beli es? Tapi belum sempat menolak, Mbak Dila sudah menyerahkan catatannya dan pergi menuju deretan pedagang minuman. Baiklah, semoga Allah melindungiku.
Dengan hati-hati aku mulai mengambil gorengan-gorengan itu. Pisang, tape, tahu... Duh, kok dia juga makin ke sini? Padahal aku sudah berusaha jaga jarak. Sekarang dia malah hanya berjarak beberapa jengkal di sampingku. Ya Allah, bantu aku...
Aku tahu dia mulai curiga. Beberapa kali dia melihat dan memperhatikan lakuku yang selalu berpindah menjauh ketika dia makin dekat denganku.
“Alfiyyah...” Daar... Akhirnya, hal yang sejak beberapa hari kemarin kuhindari terjadi juga.
“Eh, Ustadz Ali...” Aku sudah benar-benar tertangkap basah kali ini.
“Cari ta’jil juga?”
“Iya, Ustadz.”
Memang, hanya sekali kami bisa keluar. Mulai dari Kamis sore hingga Jumat sore lagi. Selama itu kegiatan pondok rehat sejenak. Meski di bulan puasa ini tidak ada libur diniyah, tapi untuk keluar pondok masih diperbolehkan.
“Kamu sendirian saja?”
“Enggak, Ustadz. Sama embak kamar.”
Di antara obrolan itu, sesekali kuambil beberapa jajanan sebagaimana pesanan yang tadi kubaca di catatan.
“Titipan sekamar, ya?” Tanyanya melihat kertas catatan di tanganku.
“Iya, Ustadz.”
Rupanya Ustadz Ali juga sedang mendapatkan titipan kawan-kawannya. Ah, dia santri juga, kan? Tak begitu lama, kami sama-sama sudah selesai dan kebetulan sekali, kami akan menuju arah yang sama. Jadilah, ia mengajakku untuk berangkat bersama.
Kami berjalan beriringan dengan jarak yang tetap terjaga. Sembari berjalan, Ustadz Ali kembali melemparkan pertanyaan. Termasuk mengenai kesanku pada pengalaman mondok pertamaku ini. Beruntung, tak begitu lama, aku menemukan Mbak Dila yang berjalan ke arahku dengan bungkusan es di tangannya. Alhamdulillah. Ini saatnya pulang dan menjauh dari ustadz yang satu itu.
“Hmm.. Maaf, Ustadz. Itu teman saya sudah selesai.” Kataku bermaksud pamit. “Saya duluan, Ustadz.”
“Oh, iya. Silakan.”
“Assalamualaikum…”
“Wa alaikum salam warahmatullah…”
Segera aku beranjak, berjalan meninggalkan Ustadz Ali. Namun, tak lama, aku mendengarnya memanggilku kembali.
“Alfiyyah...” Ah, ada apa lagi?? “Tunggu sebentar...”
Aku berbalik lalu Ustadz Ali mendekat dengan setengah berlari.
“Ini...” Sebungkus plastik hitam tersodor di hadapanku. “Berbuka dengan kurma lebih baik. Sunnah rasul.” Dengan ragu-ragu aku menerimanya. Setelah itu, aku berterimakasih dengan rasa bingung, malu, dan pasti, terkejut. Aku benar-benar tak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi? Dengan semua ini. Sepanjang perjalanan aku memikirkannya, tapi tak satu pun jawaban kutemukan.
Setibanya di kamar, seperti yang dikira, semua langsung heboh.
“Kurma dari mana?”
“Katanya sangu udah nipis, kok beli kurma?”
Ini memang sudah masuk minggu kedua aku mondok, dan emak memang tidak membekaliku dengan banyak uang.
“Tadi ada yang shodaqoh. Udah, dimakan aja. Sunnah rasul.” Begitu kuucap kata sunah Rasul, aku langsung teringat padanya. Ah, apa ini? Lindungi hamba, ya Allah.
Seminggu kemudian, tiga hari sebelum pulang, kejadian berikutnya menyusul. Aku dengan teman-teman sekamarku keluar bersama. Kami mau menuju toko kitab.
Ada bertumpuk-tumpuk kitab di sini. Fiqh, nahwu, shorof... Beberapa judulnya sudah pernah kupelajari di TPQ. Aku sudah mulai pandai membaca judul-judul kitab. Aku sering berlatih karena kejadian waktu itu.
Dan, sret... Aku menemukan kitab yang sangat bersejarah dalam hidupku. Alfiyyah... Maka kuambil kitab itu dan kubuka lembar perlembarnya. Aku hanya ingin tahu bagaimana isi Alfiyyah itu hingga ayah menjadikannya sebagai namaku. Tapi tak begitu lama, kutaruh kembali kitab itu. Tetap saja aku tak mengerti isinya. Lalu, kulanjutkan perjalananku mengamati jajaran kitab itu. Ada juga beberapa buku di sini. Mungkin saja ada yang menarik hatiku.
Aku akhirnya tertarik dengan beberapa buku terjemahan kitab-kitab kuning. Aku masih berharap bisa tahu isi Alfiyyah. Mungkin di sini ada terjemahannya.
“Alfiyyah...” Ada yang memanggilku. Rupanya itu Ustadz Ali. Sekali lagi dia mengejutkanku dengan kehadirannya yang selalu tanpa diduga.
“Ini untukmu.” Di tangannya ada sebuah kitab.
Kitab itu yang baru saja aku lihat. Itu Alfiyyah. Tapi ini asli, bukan terjemahan yang kucari. Karena dia terus meyakinkanku, akhirnya kuterima kitab itu.
“Tapi buat apa, Ustadz? Aku tidak mengerti isinya.”
“Sudah. Terima saja. Bawalah pulang. Siapa tahu, suatu saat kamu menemukan guru untuk mengajarimu kitab ini.” Setelah itu, ia pergi.
Sepanjang perjalanan aku terus berusaha menyembunyikan pemberian Ustadz Ali ini. Sesampainya di kamar pun, kitab ini segera kusimpan dan kumasukkan ke dalam tasku. Aku tak ingin teman-teman tahu ini. Mereka pasti curiga dan akan mendesakku dengan pertanyaan yang biasanya langsung mengarah ke Ustadz Ali. Aku sungguh tak menyukai hal itu.
Kitab itu pun terus di dalam tasku, hingga ketika membongkar isinya di rumah, aku menemukan bungkusan hitam dengan kitab Alfiyyah di dalamnya. Kitab ini kembali membawaku pada saat-saat aku mondok tiga mingguan kemarin. Tak terkecuali, tentang Ustadz Ali. Aku juga masih ingat salah satu pesan yang sering beliau ulang-ulang di kelas dulu, “Buka!”. Mungkin aku memang harus tambah giat membuka kitab, belajar, biar aku bisa mengerti Alfiyyah dan menuntaskan penasaranku. Mungkin itu maksudnya.
Sampul itu pun mulai kusibak. Halaman pertamanya ada cover lagi. Salinan dari sampul depannya. Lalu kulanjutkan halaman kedua. Tak ada apapun. Kecuali sebuah tulisan tangan di secarik kertas.
“Bersama kitab ini, kuhantar pula sebuah surat yang kuharap kau sudi membacanya.”
Surat? Buat apa? Maka kubuka-buka kitab itu. Tapi, tetap saja tak ada barang apapun yang kutemukan. Apa benar ada surat di sini?
Lembar demi lembar kubuka lagi dengan perlahan. Benar-benar, lembar per lembar. Hingga kutemukan secarik kertas dengan tulisan tangan terselip. Rupanya, dia serius mengirim surat.
“Assalamualaikum ya bintal Malik.
Sebelum banyak berkisah, aku ingin berterimakasih sebab sudah berkenan membaca tulisan ini. Kuharap, kau tak melewatkan barang satu huruf pun.
Aku yakin saat ini kau pasti bertanya-tanya. Mungkin juga dengan ekspresi tak sukamu yang begitu sering kulihat. Tapi, kitab dan surat ini memiliki maksud yang kuat.
Tak kusangka, pertama kali melihatmu saat perkenalan waktu itu, telah menjadi perantara bagi Allah untuk menitipkan rasa indah ini. Hingga kemudian, perasaan itu terus tumbuh seperti sulur-sulur labu yang merambati pagar pondok putri.
Saat ini aku sedang berusaha menyelesaikan hafalan Alfiyyahku. Seperti ayahmu, aku juga ingin hafal Alfiyyah. Oleh karena itu, aku sudah berniat. Setelah hafalanku selesai dan pendidikanku tamat, izinkan aku mengetuk pintu rumahmu. Bila sekali lagi kau memberi izin. Aku akan membacakan bait-bait karangan Ibnu Malik ini di depanmu, ibumu, juga insyaAllah penghulu, dan para saksi. Aku berniat menjadikanmu istriku, duhai Putri Malik."
Aku tak percaya ini, apa Ustadz Ali mau melamarku?
“Sebab itu pula, kupilihkan kitab ini sebagai kenangan perpisahan yang insyaAllah pun bisa jadi penghubung kembali. Juga sebuah pengharapan suatu saat bisa membacanya denganmu. Jika engkau berkenan, kita akan mengajinya bersama. Akan kujelaskan kitab yang sedari dulu ingin kau ketahui isinya itu. Maka, sudilah engkau menunggu dan berdoa. Persiapkan kedatanganku. Semoga Allah memberi kita petunjuk.
Ustadzmu,
Ali Akbar.”
Det. Nafasku tertahan. Ada yang menyesak di dada. Membuat jantungku bekerja ekstra dan keringat-keringat dingin mulai bercucuran.
“Jadi benar, ada sesuatu terjadi.” Hatiku menemukan jawaban yang sejak dulu telah jadi pertanyaan.
Comments
Post a Comment