Apel dari Cirebon
Siang terasa lama beranjak. Matahari masih bertahta di atas kepala. Itu artinya, masih lama pula waktuku untuk menunggunya berjalan menuju peraduannya. Emak bilang, aku harus sabar. Aku harus kuat. Karena ini memang hari terakhir, besok aku boleh makan minum sepuasnya lagi. Bahkan di waktu pagi saat aku bangun tidur, aku sudah boleh meneguk tajin asin-asin manis racikan emak.
Sementara itu, sekolah sudah lama libur. Walhasil, tak ada kegiatan lain di waktu pagiku selain menunggui benda kotak yang sedari tadi memendarkan cahaya dengan beraneka gambar yang muncul di layarnya. Bukan hanya acaranya, saat puasa begini, iklan bisa jadi hal yang dinantikan.
Akhirnya, yang dinanti itu tiba, warna merahnya langsung menggugah mata beratku. Potongan belimbing, kiwi, dan stroberi kian membuatnya semarak dan memanjakan mata. Juga hadir beberapa embun menempel pada dinding-dinding baskom bening itu sebagai jaminan utama kesegarannya. Menetes lalu meluncur dengan mulus. Aku bahkan bisa merasakan air dinginnya mengalir di tenggirokan keringku. Glek... ludahku pun sudah terasa macam marjan rupanya.
Tak cuma membangkitkan dahagaku, iklan itu pun akhirnya membuatku terinspirasi untuk bermimpi. Ya, hari ini adalah hari terakhir ramadhan. Ah, mungkin saja nanti maghrib emak mau menyediakan es marjan segar itu sebagai menu spesial di hari terakhir kami berbuka. Yah... mungkin saja....
Lalu, saat akhirnya matahari tiba di peristirahatannya, kentongan di musola segera terdengar bertalu-talu. Alhamdulillah.... buru-buru aku menuju dapur. Berharap besar menemukan sebaskom es marjan yang merah menggoda. Dan... ketika aku melongok ke dalam baskom plastik biru itu, kudapati serutan blewah dengan bongkahan es batu serta kuahnya yang lebih seperti air pada umumnya, putih bening. Lalu dimana warna merahnya?
“Ini juga segar, kok.” Kata emak kemudian menyiduk es blewah itu lalu meneguknya dengan santai. Glek...glek...glek.... Ah.... “Alhamdulillah... segar.... Kamu mau?” Sepertinya memang begitu. Akhirnya aku mengangguk sedang emak dengan segera menyidukkan esnya untukku. Dan ternyata, ini memang segar. Lalu, tak lama takbir menggema menggantikan pujian sholawat yang biasa disenandungkan di antara adzan dan iqamat. Hari raya benar-benar telah tiba.
Emak juga bilang, nanti malam Mas Hafidz juga akan pulang untuk berlebaran bersama dengan kami. Asyik... itu artinya akan ada jajan. Mas Hafidz pasti membawa banyak oleh-oleh seperti biasanya. Jadi, malam ini aku jangan tidur dulu. Aku harus mendapati Mas Hafidz nanti.
Rupanya aku tak perlu menunggu untuk waktu lama. Setelah selesai salat maghrib, aku dikejutkan oleh suara salam. Aku pun menoleh dan melihat ke arah pintu demi melihat siapa yang datang. Mas Hafidz.... Aku pun bergegas lari ke toko, menghampiri emak yang sedang melayani pembeli. Malam hari raya memang malam yang sibuk untuk toko kami, banyak warga yang belanja besar, mie, telur, beras, dan keperluan untuk ambengan besok. Namun, belum sampai aku memberi tahu, Mas Hafidz sudah menyusul duluan.
Kebetulan, saat itu emak sudah selesai melayani pembeli, dan segera menyambut Mas Hafidz. Setelah Mas Hafidz menyalami tangan emak, ganti aku yang mencium tangan masku yang baru pulang dari Cirebon itu. Lalu, Mas Hafidz memeluk dan menciumku. Aku pun sedikit memberontak. Aku tak suka. Malu...
Setelah gantian dengan Mbak Ayin untuk menjaga toko, emak mengajakku pergi ke rumah nenek. Entah untuk keperluan apa. Tapi saat itu, aku sedang sedikit malas. Entah mengapa juga, acara televisi di malam lebaran itu selalu bagus bagus dan memikat. Namun karena emak meminta, aku tak bisa menolaknya. Akhirnya aku pun ikut. Namun, belum sampai aku keluar rumah, emak melarangku membawa apel. Ya, saat itu aku tengah asyik menggerogoti sebuah apel. Apel yang semerah darah. Persis apa yang sering kulihat di tv. Enak sekali. Aku senang Mas Hafidz pulang membawa oleh-oleh sekeren itu, teman-teman pasti ngiri aku makan apel merah ini.
“Akeh bocah ki lo nang langgar.” Kata emak. Karena aku bersikeras, emak akhirnya membiarkan aku tetap membawa apel itu. Sebuah apel merah yang benar-benar merah.
Benar, begitu melewati langgar, kulihat banyak teman-temanku yang berkumpul di sana. Speaker musola itu mengumandangkan takbir dari kaset yang diputar. Sementara anak-anak ikut bertakbir. Namun, beberapa lainnya tetap bertakbir namun sambil guyon-guyon, membuat musola kecil itu jadi sangat riuh. Tak ada yang peduli dengan siapa yang lewat. Termasuk dengan apel yang ingin kupamerkan pada mereka yang biasa mengejekku. Tapi tak apa, aku tetap suka dengan apel ini.
Sesampainya di rumah nenek, aku langsung disambut oleh pamanku. Melihat apel merah di tanganku, ia langsung melempar pertanyaan.
“Masmu sudah pulang to?”
“Sudah, dong.” Jawabku senang.
“Gowo jajan, gak?” tanyanya lagi. Dengan segera, kutunjukkan apel yang sudah berlubang oleh bekas gigitanku.
“Iki jajane.” Kataku.
“Aku tidak kamu beri?”
“Yah, cuma satu.” Sesalku. “Mau?” Tawarku.
“Yek... Gah... Tipak cokotanmu. ” Tolak Pak Lik. “Gilani... Jijik.” Katanya lagi. Ah, meski aku tahu Pak Lik sedang bercanda, namun aku benar-benar menyesal. Kenapa aku tak bawa apel satu lagi, biar nanti kalau ada yang mau, aku bisa memberikan apel yang bagus, yang masih utuh. Hah.... sekarang aku jadi mengerti, mengapa tadi emak melarangku untuk membawa apel itu.
Comments
Post a Comment