Besi Tua yang Berjasa (2)
Matahari mulai meninggi saat aku bersiap. Kupakai baju baruku yang sudah kupersiapkan kemarin. Setelah itu, segera kuoleskan krim pelembab ke wajahku, lalu kusempurnakan dengan pulasan bedak tabur. Kerudung yang masih baru juga, kemudian kuselimutkan ke kepalaku. Tak berapa setelahnya, aku pun selesai.
Bersama dengan kedua embakku, aku berjalan menuju rumah nenekku. Sandal baru membuat langkahku juga semakin ringan. Hingga hanya beberapa saat saja, sebuah rumah dengan keramik hijau telah ada di hadapan kami. Pelatarannya yang luas telah kupijaki. Di halaman itu pula, kulihat sebuah mobil putih terparkir. Ah, mobil pun sudah siap rupanya, batinku bergumam. Sementara dari luar, keriweuhan sudah terdengar.
Begitu aku melewati pintu kayu bercat abu-abu itu, akhirnya kurasakan keriuhan sebenarnya. Namun, di tengah kerepotan itu....
“Wa alaikum salam....” hampir seisi ruang tamu menyambutku. Semua mata kini mengarah padaku dan kakakku.
“Eh... wong ayu sudah datang.” Kata Bulikku saat menerima jabatanku. Aku hanya tersenyum lalu mencium punggung tangannya. Setelah darinya, aku beralih untuk bersalaman dengan Pak Lik dan sepupu-sepupuku yang baru datang dari Malang kemarin.
“Heh, lihatlah, wes uayu koyok ngene loh... Ayo, ndang cepet!” Seru Bulikku yang masih saja menggodaku.
“Ayo, ndang cepet!” Kata Bulik sambil mendorong Sofyan, anak Bulikku yang lainnya, yang kemejanya masih belum dikancingkan.
“Kopiahmu sudah ketemu, Nan? Kalau belum ketemu, pake aja punya Rofi’.” Kali ini Bulik mengingatkan putranya yang baru saja keluar dari bale.
Setelah cukup lama, akhirnya, semua sudah siap dengan tampilan terbaiknya. Kopiah Minan sudah ketemu, pakaian Sofyan telah rapi, dan si Hanik sudah cantik dengan riasannya. Kami pun bergegas keluar. Bulik sudah berjaga di samping mobil putih yang ada di halaman tadi.
“Ayo, yang kecil-kecil, masuk duluan!” Bulik memberi komando. Lalu, Minan masuk paling duluan, diikuti Sofyan, kemudian Bulik memintaku masuk, lalu Mbakku Azza, dan terakhir Hanik. Jok belakang cherry itu telah sesak. Kini ganti Mbak Sul, Mbak Emi, serta Mbakku Nisa. Semua memenuhi kursi tengah yang memang sedikit lebih pendek.
Namun, baru sampai di ambang pintu, Pak Is urung ikut masuk ke mobil.
“Sek, ngambil kursi. Udah nggak muat gitu.” Kata Pak Lik kemudian pergi lagi entah kemana. Tak berapa lama, ia kembali dengan bangku kayu kecil yang biasa dipakai mbok duduk menjaga api di depan tungku saat masak. Lalu, memasangnya di ruang sempit di antara pintu dan jok tengah. maka, duduklah pak Is di atasnya.
“Sudah, ya?” Bulik bertanya kepada semua yang sudah di mobil untuk memastikan kesiapan dan kenyamanan kami sebelum mobi ini benar-benar akan berjalan nanti.
“Wes... wes...” Jawab Pak Is. Lalu, jret.... pintu mobil putih itu telah tertutup sempurna. Kemudian, usai bulik yang menggendong Rofi’ duduk di bangku
depan, mobil segera berjalan. Setelah sebelumnya, Pak Ji, suami bulik telah duduk lebih awal di kursi kemudi untuk memanasi mobil sejak sebelum yang lainnya masuk. Tron ton ton ton.... mesin tua si tronton mulai berderu.
Comments
Post a Comment